Kamis, 30 Desember 2010

SIRAH NABAWIYAH ( 01 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum


POSISI BANGSA ARAB DAN KAUMNYA


Pada hakikatnya istilah Sirah Nabawiyah merupakan ungkapan tentang risalah yang
dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam kepada manusia, untuk mengeluarkan
mereka dari kegelapan menuju cahaya, dari 'ibadah kepada hamba menuju 'ibadah kepada
Allah. Dan tidak mungkin bisa menghadirkan gambarannya yang amat menawan secara
pas dan mengena kecuali setelah melakukan perbandingan antara latar belakang risalah ini
(risalah Nabawiyyah) dan pengaruhnya. Berangkat dari sinilah kami merasa perlu
mengemukakan fasal yang berbicara tentang kaum-kaum 'Arab dan perkembangannya
sebelum Islam, serta tentang kondisi-kondisi saat Nabi Muhammad diutus.
Posisi Bangsa Arab
Menurut bahasa, 'Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan
tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah
Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan
daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Jazirah Arab dibatasi Laut Merah dan gurun Sinai di sebelah barat, di sebelah timur
dibatasi teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq bagian selatan, di sebelah selatan
dibatasi laut Arab yang bersambung dengan lautan India dan di sebelah utara dibatasi
negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Iraq, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan
dalam penentuan batasan ini. Luasnya membentang antara satu juta mil kali satu juta tiga
ratus ribu mil.
Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar karena letak geografisnya. Sedangkan
dilihat dari kondisi internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala
sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuat jazirah Arab seperti benteng
pertahanan yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah,
mencaplok dan menguasai Bangsa Arab. Oleh karena itu kita bisa melihat penduduk
jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan semenjak zaman dahulu.
Sekalipun begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua imperium yang besar saat
itu, yang serangannya tak mungkin bisa dihadang andaikan tidak ada benteng pertahanan
yang kokoh seperti itu.


S i r a h N a b a w i y a h | 2
Sedangkan hubungannya dengan dunia luar, Jazirah Arab terletak di benua yang sudah
dikenal semenjak dahulu kala, yang mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat
Laut merupakan pintu masuk ke benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk
masuk ke benua Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa
non-Arab, timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap
benua mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang berlayar
tentu akan bersandar di ujungnya.
Karena letak geografisnya seperti itu pula, sebelah utara dan selatan dari jazirah Arab
menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan,
peradaban, agama dan seni.
Kaum-kaum Arab
Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal-bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum
Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
Arab Bâ-idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sudah punah dan tidak mungkin
sejarahnya bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti 'Ad, Tsamud, Thasm, Judais,
'Imlaq dan lain-lainnya.
Arab 'ÂAribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya'rib bin Yasyjub
bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
Arab Musta'ribah. yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma'il, yang
disebut pula Arab 'Adnaniyah.
Tempat kelahiran Arab 'ÂAribah atau kaum Qahthan adalah negeri Yaman, lalu
berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku, yang terkenal adalah dua kabilah:
Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur,
Qudhâ'ah dan Sakâsik.
Kahlân, yang terdiri dari beberapa suku terkenal yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi',
Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azd, Aus, Khazraj, anak keturunan Jafnah raja Syam
dan lain-lainnya. Suku-suku Kahlân banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu
menyebar ke berbagai penjuru Jazirah menjelang terjadinya banjir besar saat mereka
mengalami kegagalan dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan Bangsa
Romawi dan tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka
menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam, (dalam riwayat lain)
dikatakan : bahwa mereka hijrah setelah terjadinya banjir besar tersebut.


S i r a h N a b a w i y a h | 3
Juga tidak menutup kemungkinan jika hal itu sebagai akibat dari persaingan antara sukusuku
Kahlan dan suku-suku Himyar, yang berakhir dengan keluarnya suku-suku Himyar
dan pindahnya suku-suku Kahlân.
Suku-Suku Kahlân yang berhijrah bisa dibagi menjadi empat golongan :
Azd ; Kehijrahan mereka langsung dipimpin oleh pemuka dan pemimpin mereka, 'Imran
bin 'Amru Muzaiqiya'. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para
pemandu; lalu berjalan ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat
yang pernah mereka tinggali setelah perjalanan mereka tersebut : Tsa'labah bin Amru
pindah dari al-Azd menuju Hijaz, lalu menetap diantara (tempat yang bernama)
Tsa'labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Madinah dan
menetap disana. Dan diantara keturunan Tsa'labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua
orang anak dari Haritsah bin Tsa'labah.
Diantara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin 'Amr (atau yang dikenal dengan
Khuza'ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr
azh-Zhahran, yang selanjutnya membuka tanah suci dan mendiami Makkah serta
mengekstradisi penduduk aslinya, al-Jarahimah. Sedangkan 'Imran bin 'Amr singgah di
Omman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut
Azd Omman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin aI-Azd menetap di Tuhâmah, yang
disebut Uzd Syanû-ah. Jafnah bin 'Amr pergi ke Syam dan menetap di sana bersama anak
keturunannya. Dia dijuluki Bapak para raja al-Ghassâsinah, yang dinisbatkan kepada mata
air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassân yang telah mereka singgahi sebelum
akhimya pindah ke Syam.
Lakhm dan Judzam; mereka pindah ke bagian Timur dan Barat. Tokoh di kalangan
mereka adalah Nashr bin Rabi'ah, pemimpin raja-raja Al-Manadzirah di Hirah.
Bani Thayyi' ; Mereka berpindah ke arah utara setelah perjalanan Azd hingga singgah di
antara dua gunung; Aja dan Salma, dan akhirnya menetap di sana dan kedua gunung
tersebut kemudian dekenal dengan dua gunungThayyi'.
Kindah; Mereka singgah di Bahrain, kemudian terpaksa meninggalkannya dan singgah di
Hadhramaut. Namun nasib mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang menimpa mereka
saat berada di Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan
pemerintahan yang besar dan kuat. Tapi pemerintahan itu cepat berakhir tanpa
meninggalkan bekas sedikitpun. Di sana ada satu kabilah Himyar yaitu Qudha'ah
(meskipun masih diperselisihkan penisbatannya kepada Himyar)yang meninggalkan
Yaman dan bermukim di daerah pedalaman as-Samawah, pinggiran Iraq.*


S i r a h N a b a w i y a h | 4
* Lihat rincian tentang kabilah-kabilah ini dan hijrahnya dalam buku-buku: "Nasab Ma'd
wal Yaman al-Kabir", "Jamharatun Nasab", "al-'Iqdul Farid", "Qalaidul Jumman",
"Nihayatul Arib", "Tarikh Ibni Khaldun", "Saba-ikuz Zahab" , dll. Dan terdapat
perbedaan yang cukup mencolok dalam berbagai referensi sejarah dalam menetapkan
periode hijrah-hijrah yang mereka lakukan dan sebab-sebabnya. Tapi setelah mengamati
secara cermat dari berbagai sudut pandang, maka kami telah menetapkan pendapat yang
kami anggap kuat dalam bab ini berdasarkan dalil yang ada.


Adapun Arab Musta'ribah, mereka merupakan cikal bakal dari nenek moyang mereka
yang tertua Ibrahim 'Alaihis-Salam, yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah kota yang
disebut Ar, dan terletak di pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup
banyak upaya penggalian dan pengeboran yang dilakukan untuk mengungkap rincian yang
mendetail tentang kota ini dan keluarga Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam serta kondisi religius
dan sosial yang ada di negeri itu.
Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim ' Alaihis Salam hijrah dari Iraq ke Hâran atau
Hirran, termasuk pula ke Palestina, dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan/markas
dakwah beliau. Beliau banyak menyusuri pelosok negeri ini dan lainnya, dan beliau pernah
sekali mengunjungi Mesir. Fir-'aun (sebutan bagi penguasa Mesir) kala itu berupaya untuk
melakukan tipu daya dan niat buruk terhadap istri beliau, Sarah. Namun Allah membalas
tipu dayanya (senjata makan tuan). Dan tersadarlah Fir'aun itu betapa kedekatan
hubungan Sarah dengan Allah hingga akhirnya ia jadikan anaknya,** Hajar sebagai
abdinya (Sarah). Hal itu dia lakukan sebagai tanda pengakuannya terhadap keutamaannya,
kemudian dia (Hajar) dikawinkan oleh Sarah dengan Ibrahim. Ibrahim Alaihis Salam
kembali ke Palestina dan Allah menganugerahinya Isma'il dari Hajar. Sarah terbakar api
cemburu. Dia memaksa Ibrahim untuk mengekstradisi Hajar dan putranya yang masih
kecil, Isma'il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka
berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman (gersang dan tandus) di sisi Baitul
Haram, yang saat itu hanyalah berupa gunduka~gundukan tanah. Rasa gundah mulai
menggayuti pikiran Ibrahim, Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan mereka
berdua di dalam tenda, diatas mata air zamzam, bagian atas masjid. Dan pada saat itu tak
ada seorang pun yang tinggal di Makkah dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan
didekat mereka kantong kulit yang berisi kurma, dan wadah air. Setelah itu beliau kembali
lagi ke Palestina. Berselang beberapa hari kemudian, bekal dan air pun habis. Sementara
tidak ada mata air yang mengalir. Disana tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat
karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua hingga
batas waktu tertentu. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya.


** Menurut kisah yang sudah banyak dikenal, Hajar adalah seorang budak wanita. Tetapi
seorang penulis kenamaan, al-'Allamah al-Qadhy Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury
telah melakukan penelitian secara seksama bahwa Hajar adalah seorang wanita merdeka,


S i r a h N a b a w i y a h | 5
dan dia adalah putri Fir'aun sendiri. Lihat buku "Rahmatun lil'alamin, 2/3637 dan juga
buku "Tarikh Ibni Khaldun", 2/1/77.
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang setelah itu dan bermukim di Mekkah
atas perkenan dari ibu Isma'il . Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana
sebelum itu, tepatnya di lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Bukhari
menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Isma'il dan ibunya,
sebelum Isma'il menginjak remaja. Mereka sudah biasa melewati lembah Makkah ini
sebelum itu.
Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Makkah untuk menjenguk keluarganya. Dalam
hal ini tidak diketahui berapa kali kunjungan/perjalanan yang dilakukannya, Hanya saja
menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan
sebanyak empat kali. Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur'an, bahwa Dia Ta'ala
memperlihatkan Ibrahim dalam mimpinya seolah-olah dia menyembelih anaknya, Isma'il.
Maka beliau langsung melaksanakan perintah ini. Allah berfirman :
"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim menbaringkan onaknya atar pelipis(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya). Dan, kami panggillah dia, 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
mrmbenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar. " (Ash-Shaffat: 103-107).
Didalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Isma'il selisih tiga belas tahun lebih tua
dari Ishaq. Secara tekstual, kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu tejadi sebelum
kelahiran Ishaq sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah
pengupasan kisah ini secara keseluruhan.
Setidak-tidaknya kisah ini mengandung satu kisah perjalanan sebelum Isma'il menginjak
remaja. Sedangkan tiga kisah selanjutnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara
panjang lebar dari Ibnu 'Abbas secara marfu', yang intinya bahwa ketika remaja Isma'il
dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, mereka merasa tertarik kepadanya, lalu
mereka mengawinkannya dengan salah seorang wanita golongan mereka dan saat itu ibu
Isma'il sudah meninggal dunia. Maka suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang
ditinggalkannya setelah terjadinya pernikahan tersebut, beliau tidak mendapatkan Isma'il,
lalu beliau bertanya kepada istrinya mengenai suaminya, Isma'il dan kondisi mereka
berdua. Istri Isma'il mengeluhkan kehidupm mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip
pesan agar suaminya nanti mengganti palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Isma'il
mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma'il menceraikan istrinya itu dan kawin lagi
dengan wanita lain, yaitu putri Madhdhadh bin 'Amr, pemimpin dan pemuka kabilah
Jurhum menurut pendapat kebanyakan (sejarawan-pen).


S i r a h N a b a w i y a h | 6
Setelah perkawinan Isma'il yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bertemu
dengan Isma'il lalu akhirnya kembali ke Palestina setelah beliau menanyakan kepada
istrinya tersebit tentang Isma'il dan kondisi mereka berdua, isterinya memuij kepada Allah
(atas apa yang dianugerahkan kepada mereka berdua). Kemudian Ibrahim kembali
menitip pesan lewat istri Isma'il, agar Isma'il memperkokoh palang pintu rumahnya. Pada
kedatangan yang ketiga kalinya Ibrahim bisa bertemu dengan Isma'il, yang saat itu sedang
meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat zamzam. Tatkala melihat
kehadiran ayahnya, Isma'il berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak
bersua bapaknya, begitu juga dengan Ibrahim. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama
yang sangat jarang dijumpai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut
bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya, begitu pula dengan Isma'il, sebagai anak
yang berbakti dan shalih. Dan kali ini mereka berdua membangun Ka'bah dan
meninggikan pondasinya. Kemudian Ibrahim pun mengumumkan kepada khalayak agar
melakukan haji sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.
Dari perkawinannya dengan putri Madhdhadh, Isma'il dikaruniai oleh Allah sebanyak dua
belas orang anak yang semuanya laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qidar, Adba-il,
Mubsyam, Misyma', Duma, Misya, Hidad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman. Dari
mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap
di Mekkah untuk beberapa lama. Mata pencaharian mayoritas mereka adalah berdagang
dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di
berbaga i penjuru Jazirah, dan bahkan hingga keluar Jazirah, kemudian seiring dengan
pejalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan
Qidar.
Peradaban anak keturunan Nabat mengalami kemajuan di bagian utara Hijaz. Mereka
mampu mendirikan pemerintahan yang kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya,
dan menjadikan Al-Bathra' sebagai ibukotanya. Tak seorangpun yang mampu melawan
mereka hingga datangnya pasukan Romawi yang berhasil melindas mereka. Sekelompok
Peneliti berpendapat bahwa raja-raja keturunan keluarga besar Ghassan, termasuk juga
kaum Anshor dari suku Aus dan Khazraj bukan berasal dari keturunan keluarga besar
Qahthan, tetapi mereka adalah dari keturunan keluaraga besar Nabat, anak Isma'il dan
sisa-sisa mereka masih berada di kawasan itu, dan pendapat ini diambil oleh Imam
Bukhari sedangkan Imam Ibnu Hajar menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa
anak keturunan keluarga besar Qahthan adalah berasal dari keturunan keluarga besar
Nabat.
Adapun anak keturunan Qidar bin Isma'il masih menetap di Makkah, beranak pinak di
sana hingga menurunkan 'Adnan dan anaknya Ma'ad. Dari dialah orang-orang Arab
Adnaniyah menisbatkan nasab mereka. Dan Adnan adalah nenek moyang kedua puluh
satu dalam silsilah keturunan Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. Diriwayatkan bahwa Nabi


S i r a h N a b a w i y a h | 7
Shallallahu 'alaihi Wasallam, jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan,
maka beliau berhenti dan bersabda, "Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta", lalu
beliau tidak melanjutkannya. Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari
Adnan ke atas dan melemahkan (mendho'ifkan) hadits yang mengisyaratkan hal itu
(hadits yang disebut diatas). Menurut mereka berdasarkan penelitian yang detail;
sesungguhnya antara Adnan dan Ibrahim 'Alaihis-Salam terdapat empat puluh keturunan.
Keturunan Ma'ad dari anaknya, Nizar telah berpencar kemana-mana (menurut suatu
pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma'ad). Dan Nizar sendiri mempunyai empat
orang anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad,
Anmar, Rabi'ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan
sukunya. Sedangkan dari Rabi'ah muncul Asad bin Rabi'ah, Anzah, Abdul-Qais, dua anak
Wa-il ;Bakr dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.
Sedangkan kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais 'Ailan
bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dan dari Qais 'Ailan muncul Bani
Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Kemudian dari Ghathafan muncul 'Abs,
Dzibyan, Asyja' dan Ghany bin A'shar.
Dari Ilyas bin Mudhar muncul Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin
Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khuzaimah. Dan dari Kinanah muncul
Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, 'Udai,
Makhzum, Tim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud Dar bin Qushay,
Asad bin Abdul 'Uzza bin Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay.
Sedangkan Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan
Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaanya muncul
Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam pernah bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memilih isma'il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak
keturunan Isma'il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari
keturunan Quraisy dan memilihku dari keturuan Bani Hasyim. ".(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).
Dari al-'Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam
bersabda:
"Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan
mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku


S i r a h N a b a w i y a h | 8
diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara
sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik
keluarga diantara mereka". (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).
Setelah anak-anak 'Adnan beranak-pinak, mereka berpencar diberbagai tempat di penjuru
jazirah Arab, menjelajahi tempat-tempat yang banyak curah hujannya dan ditumbuhi oleh
tanaman.
Abdul Qais dan keturunan Bakr bin Wa-il serta keturunan Tamim pindah ke Bahrain dan
menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha'b bin Ali bin Bakr bergerak menuju
Yamamah dan singgah di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin Wa-il
menetap di berbagai penjuru tanah Jazirah, mulai dari Yamamah, Bahrain, Saif Kazhimah
hingga mencapai laut, kemudian tanah kosong Iraq, al-Ablah hingga Haita.
Taghlib menetap di Jazirah dekat kawasan Eufrat, diantaranya terdapat suku-suku yang
pernah hidup berdampingan dengan (kabilah) Bakr sedangkan Bani Tamim menetap di
daerah pedalaman Bashrah. Bani Sulaim menetap dekat Madinah, dari Wadi al-Qura
hingga ke Khaibar hingga bagian timur Madinah mencapai batas dua gunung hingga
berakhir di kawasan pegungan Hurrah. Sementara Tsaqif menetap di Tha'if dan Hawazin
di timur Makkah dipinggiran Authas yaitu dalam perjalanan antara Makkah dan Bashrah.
Dan Bani Asad bermukim di timur Taima' dan barat Kufah. Mereka dan Taima' diantarai
perkampungan Buhtur dari suku Thayyi'. Sedangkan masa perjalanan mereka dan Kufah
ditempuh selama lima hari. Ada lagi suku Dzubyan yang bermukim di dekat Taima'
menuju Huran. Di Tihamah tersisa beberapa suku-suku Kinanah, sedangkan di Makkah
tinggal suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatupun yang bisa
menghimpun mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang menyatukan mereka
dan membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan dan martabat

Selasa, 28 Desember 2010

Hikmah hikmah Berwudhu

Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam bersabda :


مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

Barangsiapa wudhu dan membaguskan wudhunya, maka kesalahan-kesalahannya keluar dari tubuhnya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya” (HR. Muslim)

Ilmu pengetahuan modern telah menetapkan bahwa orang yang berwudhu secara terus-menerus, maka sungguh dia telah membersihkan hidung dan bebas dari kuman (mikroba). Telah tetap secara ilmiah bahwa kuman tidak menyerang kulit manusia kecuali jika ia tidak menjaga kebersihannya. Berikut rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). yang berbunyi :
“Tiga juta orang mati pada setiap tahun. Dan kita tidak tahu siapa mereka. Mereka mati sebab tidak peduli pada kebersihan tangan, tidak mencucinya sebelum makan dan tidak memperhatikan istinja”

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kulit tangan membawa banyak kuman yang pindah ke mulut atau hidung ketika kedua tangan tidak dicuci. Oleh karena itu, mencuci kedua tangan adalah wajib. Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam telah memerintahkan manusia untuk membersihkan tangan dengan hadits berikut :


إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثًا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka jangan (langsung) memasukkan tangannya ke dalam bejana sampai dia mencucinya tiga kali, karena dia tidak tahu dimana tanganya bermalam
Wallahu A'lam.

(100 Mukjizat Islam, Karya Yusuf Ali al-Jasir, Pustaka Darul Haq, di kutip dari http://www.alsofwah.or.id)

Minggu, 19 Desember 2010

Biografi Abu Wafa - Sang Matematikawan Jenius

Ahli matematika Muslim fenomenal di era keemasan Islam ternyata bukan hanya Al-Khawarizmi. Pada abad ke-10 M, peradaban Islam juga pernah memiliki seorang matematikus yang tak kalah hebat dibandingkan Khawarizmi. Matematikus Muslim yang namanya terbilang kurang akrab terdengar itu bernama Abul Wafa Al-Buzjani. “Ia adalah salah satu matematikus terhebat yang dimiliki perabadan Islam,” papar Bapak Sejarah Sains, George Sarton dalam bukunya bertajuk Introduction to the History of Science.


Abul Wafa adalah seorang saintis serba bisa. Selain jago di bidang matematika, ia pun terkenal sebagai insinyur dan astronom terkenal pada zamannya.

Kiprah dan pemikirannya di bidang sains diakui peradaban Barat. Sebagai bentuk pengakuan dunia atas jasanya mengembangkan astronomi, organisasi astronomi dunia mengabadikannya menjadi nama salah satu kawah bulan. Dalam bidang matematika, Abul Wafa pun banyak memberi sumbangan yang sangat penting bagi pengembangan ilmu berhitung itu.

“Abul Wafa dalah matematikus terbesar di abad ke 10 M,” ungkap Kattani. Betapa tidak. Sepanjang hidupnya, sang ilmu wan telah berjasa melahirkan sederet inovasi penting bagi ilmu matematika. Ia tercatat menulis kritik atas pemikiran Eucklid, Diophantos dan Al-Khawarizmisayang risalah itu telah hilang. Sang ilmuwanpun mewariskan Kitab Al-Kami (Buku Lengkap) yang membahas tentang ilmu hitung (aritmatika) praktis. Kontribusi lainnya yang tak kalah penting dalam ilmu matematika adalah Kitab Al-Handasa yang mengkaji penerapan geometri. Ia juga berjasa besar dalam mengembangkan trigonometri.

Abul Wafa tercatat sebagai matematikus pertama yang mencetuskan rumus umum si nus. Selain itu, sang mate ma tikus pun mencetuskan metode baru membentuk tabel sinus. Ia juga membenarkan nilai sinus 30 derajat ke tempat desimel kedelapan. Yang lebih menga gumkan lagi, Abul Wafa mem buat studi khusus tentang ta ngen serta menghitung se buah tabel tangen.

Jika Anda pernah mempelajari matematika tentu pernah mengenal istilah secan dan co secan. Ternyata, Abul Wafalah yang pertama kali memperkenalkan istilah matematika yang sangat penting itu. Abu Wafa dikenal sangat jenius dalam bi dang geometri. Ia mampu me nyelasikan masa lah-masalah geometri dengan sangat tang kas.

Buah pemikirannya dalam matematika sangat berpengaruh di dunia Barat. Pada abad ke-19 M, Baron Carra de Vaux meng ambil konsep secan yang dicetuskan Abul Wafa. Sayangnya, di dunia Islam justru namanya sangat jarang terdengar. Nyaris tak pernah, pelajaran sejarah peradaban Islam yang diajarkan di Tanah Air mengulas dan memperkenalkan sosok dan buah pikir Abul Wafa. Sungguh ironis.

Sejatinya, ilmuwan serbabisa itu bernama Abu al-Wafa Muhammad Ibn Muhammad Ibn Yahya Ibn Ismail Ibn Abbas al-Buzjani. Ia terlahir di Buzjan, Khurasan (Iran) pada tanggal 10 Juni 940/328 H. Ia belajar matematika dari pamannya bernama Abu Umar al- Maghazli dan Abu Abdullah Muhammad Ibn Ataba. Sedangkan, ilmu geometri dikenalnya dari Abu
Yahya al-Marudi dan Abu al-Ala’ Ibn Karnib.

Abul Wafa tumbuh besar di era bangkitnya sebuah dinasti Islam baru yang berkuasa di wilayah Iran. Dinasti yang ber nama Buwaih itu berkuasa di wilayah Persia — Iran dan Irak ñ pada tahun 945 hingga 1055 M. Kesultanan Buwaih menancapkan benderanya di antara periode peralihan kekuasaan dari Arab ke Turki. Dinasti yang berasal dari suku Turki itu mampu menggulingkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad pada masa kepemim -pinan Ahmad Buyeh.

Dinasti Buwaih memindahkan ibu kota pemerintahannya ke Baghdad saat Adud Ad-Dawlah berkuasa dari tahun 949 hingga 983 M. Pemerintahan Adud Ad- Dawlah sangat mendukung dan memfasilitasi para ilmuwan dan seniman.

Dukungan itulah yang membuat Abul Wafa memutuskan hijrah dari kampung halamannya ke Baghdad. Sang ilmuwan dari Khurasan ini lalu memutuskan untuk mendedikasikan dirinya bagi ilmu pengetahuan di istana Adud ad-Dawlah pada tahun 959 M. Abul Wafa bukanlah satusatunya matematikus yang mengabdikan dirinya bagi ilmu pengetahuan di istana itu.

Matematikus lainnya yang juga bekerja di istana Adud ad-Dawlah antara lain; Al- Quhi dan Al-Sijzi. Pada tahun 983 M, suksesi kepemimpinan terjadi di Dinasti Buwaih. Adyd ad-Dawlah digantikan puteranya bernama Sharaf ad-Dawlah. Sama seperti sang ayah, sultan baru itu juga sangat mendukung perkembangan matematika dan astronomi. Abul Wafa pun makin betah kerja di istana.

Kecintaan sang sultan pada astronomi makin memuncak ketika dirinya ingin membangun sebuah observatorium. Abul Wafa dan temannya Al-Quhi pun mewujudkan ambisi sang sulatan. Obser vatorium astronomi itu dibangun di taman is tana sultan di kota Baghdad. Kerja keras Abul Wafa pun berhasil. Observatorium itu secara resmi dibuka pada bulan Juni 988 M.

Untuk memantau bintang dari observatorium itu, secara khusus Abul Wafa membangun kuadran dinding. Sayang, observatorium tak bertahan lama. Begitu Sultan Sharaf ad-Dawlah wafat, observatorium itu pun lalu ditutup. Sederet karya besar telah dihasilkan Abul Wafa selama mendedikasikan dirinya di istana sultan Buwaih.

Beberapa kitab bernilai yang ditulisnya antara lain; Kitab fima Yahtaju Ilaihi al- Kuttab wa al-Ummal min ‘Ilm al-Hisab sebuah buku tentang aritmatika. Dua salinan kitab itu, sayangnya tak lengkap, kini berada di perpustakaan Leiden, Belanda serta Kairo Mesir. Ia juga menulis “Kitab al-Kamil”.

Dalam geometri, ia menulis “Kitab fima Yahtaj Ilaih as-Suna’ fi ‘Amal al-Handasa”. Buku itu ditulisnya atas permintaan khusus dari Khalifah Baha’ ad Dawla. Salinannya berada di perpustakaan Masjid Aya Sofya, Istanbul. Kitab al-Majesti adalah buku karya Abul Wafa yang paling terkenal dari semua buku yang ditulisnya. Salinannya yang juga sudah tak lengkap kini tersimpan di Perpustakaan nasional Paris, Pran cis.

Sayangnya, risalah yang di buatnya tentang kritik terha dap pemikiran Euclid, Diophantus serta Al-Khawarizmi sudah musnah dan hilang. Sungguh peradaban modern berutang budi kepada Abul Wafa. Hasil penelitian dan karya-karyanya yang ditorehkan dalam sederet kitab memberi pengaruh yang sangat signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahun, terutama trigonometri dan astronomi.

Sang matematikus terhebat di abad ke-10 itu tutup usia pada 15 Juli 998 di kota Baghdad, Irak. Namun, hasil karya dan pemikirannya hingga kini masih tetap hidup.


Abadi di Kawah Bulan

Abul Wafa memang fenomenal. Meski di dunia Islam modern namanya tak terlalu dikenal, namun di Barat sosoknya justru sangat berkilau. Tak heran, jika sang ilmuwan Muslim itu begitu dihormati dan disegani. Orang Barat tetap menyebutnya dengan nama Abul Wafa. Untuk menghormati pengabdian dan dedikasinya dalam mengembangkan astronomi namanya pun diabadikan di kawah bulan.

Di antara sederet ulama dan ilmuwan Muslim yang dimiliki peradaban Islam, hanya 24 tokoh saja yang diabadikan di kawah bulan dan telah mendapat pengakuan dari Organisasi Astronomi Internasional (IAU). Ke-24 tokoh Muslim itu resmi diakui IAU sebagai nama kawah bulan secara bertahap pada abad ke-20 M, antara tahun 1935, 1961, 1970 dan 1976. salah satunya Abul Wafa.

Kebanyakan, ilmuwan Muslim diadadikan di kawah bulan dengan nama panggilan Barat. Abul Wafa adalah salah satu ilmuwan yang diabadikan di kawah bulan dengan nama asli. Kawah bulan Abul Wafa terletak di koordinat 1.00 Timur, 116.60 Timur. Diameter kawah bulan Abul Wafa diameternya mencapai 55 km. Kedalaman kawah bulan itu mencapai 2,8 km.

Lokasi kawah bulan Abul Wafa terletak di dekat ekuator bulan. Letaknya berdekatan dengan sepasangang kawah Ctesibius dan Heron di sebelah timur. Di sebelah baratdaya kawah bulan Abul Wafa terdapat kawah Vesalius dan di arah timur laut terdapat kawah bulan yang lebih besar bernama King. Begitulah dunia astronomi modern mengakui jasa dan kontribusinya sebagai seorang astronom di abad X.


Matematika Ala Abul Wafa

Salah satu jasa terbesar yang diberikan Abul Wafa bagi studi matematika adalah trigo no metri. Trigonometri berasal dari kata trigonon = tiga sudut dan metro = mengukur. Ini adalah adalah sebuah cabang matematika yang berhadapan dengan sudut segi tiga dan fungsi trigo no met rik seperti sinus, cosinus, dan tangen.

Trigonometri memiliki hubungan dengan geometri, meskipun ada ketidaksetujuan tentang apa hubungannya; bagi beberapa orang, trigonometri adalah bagian dari geometri. Dalam trigonometri, Abul Wafa telah memperkenalkan fungsi tangen dan memperbaiki metode penghitungan tabel trigonometri. Ia juga tutur memecahkan sejumlah masalah yang berkaitan dengan spherical triangles.

Secara khusus, Abul Wafa berhasil menyusun rumus yang menjadi identitas trigonometri. Inilah rumus yang dihasilkannya itu:

sin(a + b) = sin(a)cos(b) + cos(a)sin(b)
cos(2a) = 1 - 2sin2(a)
sin(2a) = 2sin(a)cos(a)

Selain itu, Abul Wafa pun berhasil membentuk rumus geometri untuk parabola, yakni:
x4 = a and x4 + ax3 = b.
Rumus-rumus penting itu hanyalah secuil hasil pemikiran Abul Wafa yang hingga kini masih bertahan. Kemampuannya menciptakan rumus-rumus baru matematika membuktikan bahwa Abul Wafa adalah matematikus Muslim yang sangat jenius.

Selasa, 07 Desember 2010

Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaidah Bahasa Arab

Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaidah Bahasa Arab [1]
Sebagaimana masyhur di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahwa kalimat tauhid laa ilaaha illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) diartikan dengan “tiada Tuhan selain Allah”. Namun, benarkah terjemahan kalimat tauhid tersebut?
Pembaca yang semoga Allah Ta’ala merahmati Anda, tentunya kita tahu bahwa kalimat tauhid tersebut adalah kalimat dalam bahasa Arab. Ketahuilah, pemahaman yang benar tentang kalimat laa ilaaha illallah tergantung pada benarnya pemahaman kita terhadap asal kalimat ini yaitu dari sisi bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kita ingin mengetahui terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, mau tidak mau kita harus menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Mari kita lihat bagaimanakah terjemahan dan makna yang benar dari kalimat laa ilaaha illallahI’rob kata laa ilaaha illallah yaitu:
Laalaa naafiyah liljinsi (menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya.
Ilaahisim laa yang mabni (tetap) atas fathah, menempati kedudukan nashob.[2]
Asal kata “ilaah” adalah dari kata alaha (أَلَهَ) yang bersinonim dengan kata ‘abada(عَبَدَ) yang artinya menyembah/beribadah, wazannya fa’ala-yaf’alu (فَعَلَ – يَفْعَلُ) sehingga tashrif isthilahinya menjadi alaha-ya’lahu-ilaahan (أَلَهَ – يَعْلَهُ – إِلاهًا). “Ilaah” adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas suatu makna yang tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal dari fi’il (kata kerja) dan asal dari semua isim musytaq (kata jadian).[3] Isim mashdar terkadang dapat bermaknafa’il (subjek/yang melakukan suatu perbuatan) dan dapat bermakna maf’ul bih(objek/yang dikenai suatu perbuatan). Berikut ini contoh suatu mashdar yang dapat bermakna fa’il dan dapat bermakna maf’ul bih, diambil dari hadits riwayat Muslim tentang larangan berbuat bid’ah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa roddun“.
Kata “roddun” (رَدٌّ) adalah mashdar. Terdapat beberapa penjelasan ulama tentang apakah makna “roddun” di sini. Sebagian ulama menjelaskan bahwasanya mashdarroddun” di sini bermakna fa’il, yaitu “rooddun” (رَادٌّ) yang artinya “orang yang menolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka dia adalah orang yang menolak.” Maksudnya adalah menolak syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lain memaknai “roddun” dengan makna maf’ul bih, yaitu “marduudun” (مَرْدُوْدٌ) yang artinya “sesuatu yang ditolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barangsiapa siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amal itu ditolak.” Maksudnya adalah amalan tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak memenuhi syarat diterimanya amal [4].
Kemudian kembali ke “ilaah“, apakah “ilaah” dalam kalimat tauhid bermakna fa’ilatau maf’ul bih?
Kata “ilaah” di sini ada yang mengartikannya sebagai mashdar bermakna fa’il, dan ini adalah makna yang keliru yang didukung dengan bukti-bukti yang sangat banyak yang membantah kekeliruan makna tersebut. Ada yang memaknai “ilaah” dengan makna maf’ul bih, dan inilah makna yang benar. Mengapa demikian? Mari kita lihat makna “ilaah” sebagai fail dan sebagai maf’ul bih, sehingga kita tahu makna yang benar.
Yang memaknai “ilaah” dengan makna fa’il mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “laa ilaaha illallah” adalah “laa khooliqo illallah” (لَا خَالِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pencipta selain Allah” atau “laa robba illallah” (لَا رَبَّ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pengatur alam semesta selain Allah” atau “laa rooziqo illallah” (لَا رَازِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pemberi rizki selain Allah” dan makna-makna yang lain yang merupakan makna rububiyyah[5]. Ini adalah makna yang sangat bathil, karena kalau “ilaah” di sini dimaknai sebagai fa’il maka makna seperti ini telah diyakini dan disetujui oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum musyrikin Arab meyakini  bahwa yang menciptakan, yang memberi rizki, dan yang mengatur urusan alam semesta dan sisi-sisi rububiyyah yang lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat Al Qur’an yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin Arab itu beriman kepada rububiyyah Allah Subhanahu waTa’ala, di antaranya:
“Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”…” (QS. Luqman:25)
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Akan tetapi pengakuan tersebut tidaklah memasukkan mereka ke dalam agama Islam. Buktinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi mereka, menghalalkan harta dan darah mereka. Sehingga kalau “ilaah” ini dimaknai denganfa’il maka konsekuensinya kaum musyrikin Arab adalah orang-orang muslim. Namun, tidaklah demikian. Mengapa? Karena mereka hanya beriman kepada sifat-sifatrububiyyah saja, tetapi mereka menyekutukan Allah dalam beribadah.
Oleh karena itu makna yang benar untuk “ilaah” adalah mashdar bermakna maf’ul bih, “ilaah” bermakna “ma’luuh” (مَأْلُوْهٌ) atau sinonimnya yaitu “ma’buud” (مَعْبُوْدٌ) yang artinya adalah “sesuatu yang disembah/diibadahi”. Sehingga makna “laa ilaaha” adalah “laa ma’buuda“.
Tadi disebutkan bahwa laa beramalan memanshubkan isimnya dan memarfu’kankhobarnya. Lantas, di mana khobar dari laa?
Khobar laa dibuang (mahdzuuf), dan takdirnya adalah “haqqun” atau “bihaqqin“.
Mengapa khobar laa dibuang? Suatu kata boleh dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui meskipun ada kata yang dibuang dari kalimat tersebut. Saya ambilkan contoh dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Misalkan ada orang yang bertanya, “Siapa Nabimu?” maka jawabannya adalah “Muhammad”. Di sini tentu sudah diketahui maksud dari jawaban yang sangat ringkas tersebut, yang hanya terdiri dari satu kata “Muhammad” saja, yang mana kalimat lengkapnya yaitu “Nabi saya adalah Muhammad.” Meskipun ringkas tetapi kita dapat menangkap maksud dari kalimat tersebut. Suatu kalimat yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada kalimat yang panjang. Nah, demikian juga dalam bahasa Arab. Maka khobar laa pada kalimat tauhid dibuang karena orang-orang Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dapat memahami maknanya, karena mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pulalah orang-orang musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah robb mereka, karena mereka paham akan makna dan konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.
Sebagian orang mentakdirkan bahwa khobar laa yang dibuang itu takdirnya adalah “maujuudun” (مَوْجُوْدٌ) yang artinya “ada”, sehingga mereka memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “laa ilaaha maujuudun illallahu” (لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ إِلَّا اللهُ) artinya “tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah”. Jika demikian maka ada beberapa konsekuensi yang fatal, di antaranya adalah:
  1. Kalau khobar laa yang dibuang ditakdirkan dengan “maujuudun” maka hal ini tidaklah sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Karena realita menunjukkan bahwasanya selain Allah masih banyak sesembahan yang lain. Ada orang yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang shalih, malaikat, patung, dewa, dan sebagainya.
  2. Kalau dimaknai dengan “laa ilaaha maujuudun illallah” maka konsekuensinya semua sesembahan yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah Allah. Contoh: karena patung berhala adalah sesembahan kaum musyrikin Arab dulu maka patung berhala adalah Allah, karena Yesus adalah sesembahan kaum Nasrani maka Yesus adalah Allah, karena ‘Uzair adalah sesembahan Yahudi maka ‘Uzair adalah Allah, karena dewa-dewa adalah sesembahan orang Hindu maka dewa-dewa adalah Allah. Tentunya tidak demikian bukan?
Oleh karena itu, yang benar adalah mentakdirkan khobar laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin“. Sehingga kalimat tauhid yang lengkap sebenarnya adalah
laa ilaaha haqqun illallahu
dan maknanya yang benar yaitu
laa ma’buuda haqqun illallahu
atau
laa ma’buuda bihaqqin illallahu.
Maknanya adalah “tidak ada sesembahan yang haq selain Allah” atau “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”. Hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah dengan benar. Hanya kepada Allah-lah kita menujukan semua amal ibadah kita, bukan kepada selain-Nya.
Illa: alat istitsna (untuk mengecualikan).
Lafadz jalalah “Allah” sebagai badal (pengganti) dari khobar laa yang dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah “Allah” adalah sesuai denganmubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu khobar laa. Ingat, khobar laa mempunyaii’rob marfu’, maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikut marfu’, yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata tunggal) yang marfu’dengan tanda dhommah sehingga berbunyi “Allahu”.
Antara badal dengan mubdal minhu bendanya adalah sama. Maka khobar laa yaitu “haqqun” digantikan dengan “Allah” menunjukkan bahwa yang haq itu ialah Allah,Allah itulah yang haq.
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)
Demikianlah, semoga apa yang kami sampaikan dapat membantu kita dalam memahami kalimat tauhid yang sangat agung ini. Betapa suatu kenikmatan yang sangat besar jika kita dapat memahami makna kalimat laa ilaaha illallah dan mengamalkannya, sehingga berbuah surga-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang mati dalam keadaan dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.”[6]
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat.
Wal ‘ilmu ‘indallaah
Selesai disusun di wisma ceRIa, 12 April 2010 pukul 3:13 a.m.
Yang selalu membutuhkan ampunan dari Rabb-nya

[1] Kami mendapatkan faidah yang agung ini dari Ust. M. Saifuddin Hakimhafizhohullah pada saat pelajaran baca kitab “Minhaj Al-Firqotu An-Najiyah wa Ath-Thoifatu Al-Manshuroh” Ma’had al-’Ilmi Akhowat.
[2] Karena “ilaah” adalah isim nakiroh mufrod dan bukan mudhof atau syibhul mudhof, maka hukumnya sebagai isim laa adalah mabni atas tanda nashobnya, yaitufathah.
[3] Lihat Mulakhkhosh Qowa’idu Al-Lughoti Al-’Arobiyyati (1/30-31)
[4] Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tata cara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Adapun pada hadits ini, amalan tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penjelasan lebih lengkap bisa dilihat di Syarah Hadits Arba’in.Wallahu a’lam.
[5] Yang berkaitan dengan perbuatan Allah seperti mencipta, mengatur alam semesta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dll.
[6] HR. Muslim (26), Ahmad (464), An Nasa’I dalam “Al Kubra” (109252), Al Bazzar (4150, dan Ibnu Hibban (201).

FIRMAN GUNS. Diberdayakan oleh Blogger.