Minggu, 23 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 05 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

NASAB DAN KELUARGA BESAR NABI

Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi ke dalam tiga klasifikasi: Pertama, yang
disepakati oleh ahlus Siyar wal Ansaab (Para Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan
nasab beliau hingga kepada Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan antara yang
mengambil sikap diam dan tidak berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu
tentangnya, yaitu urutan nasab beliau dari atas Adnan hingga Ibrahim 'alaihissalam.
Ketiga, yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak shahih,
yaitu urutan nasab beliau mulai dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam 'alaihissalam. Kami
sudah singgung sebagiannya, dan berikut ini penjelasan detail tentang ketiga klasifikasi
tersebut:
Klasifikasi Pertama: Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib (nama aslinya;
Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru) bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah)
bin Qushai (nama aslinya: Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin
Fihr (julukannya: Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin
an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya:
'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.
Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad
bin Humaisa' bin Salaaman bin 'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin
Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin
Maakhi b in 'Iidh bin 'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin
Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad
bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin 'Uudhah bin
'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.
Klasifikasi Ketiga: (dari urutan nasab kedua klasifikasi diatas hingga keatas Nabi Ibrahim)
yaitu, Ibrahim 'alaihissalam bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu' atau
Saaruugh bin Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin
Nuh 'alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang mengatakan
bahwa dia adalah Nabi Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin Qainaan bin
Aanuusyah bin Syits bin Adam 'alaihissalam.
S i r a h N a b a w i y a h | 40
Keluarga besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih dikenal
dengan sebutan al-Usrah al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin
'Abdu Manaf), oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung tentang kondisi Hasyim ini
dan orang-orang setelahnya dari keluarga besar beliau Shallallahu 'alaihi wasallam :
Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa Hasyim adalah orang yang bertindak
sebagai penanggung jawab atas penanganan air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan (ar-
Rifadah) terhadap Baitullah dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi perundingan
antara Banu 'Abdi Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam masalah pembagian kekuasaan
antar kedua belah fihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang
baik dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan makanan
berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada
jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama aslinya adalah 'Amru, adapun kenapa dia
dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang meremuk-remukan roti (sesuai
dengan arti kata Hasyim dalam Bahasa Arabnya-red). Dia juga lah orang pertama yang
mencanangkan program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus
Syitaa' ; bepergian di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di musim panas
(sebagaimana dalam surat Quraisy ayat 2 -red). Berkenaan dengan hal ini, seorang penyair
bersenandung:
'Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid kepada kaumnya
Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah musiman
Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim panas
Diantara kisah tentang dirinya; suatu hari dia pergi ke kota Syam untuk berdagang, namun
ketika sampai di Madinah dia menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, salah seorang
puteri 'Uday bin an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian
berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang
mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan 'Abdul Muththalib). Hasyim
akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di tanah Palestina. Isterinya, Salma
melahirkan puteranya, 'Abdul Muththalib pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya
dengan Syaibah karena tumbuhnya uban (yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah"-
red) di kepalanya. Dia mendidik anaknya di rumah ayahnya (Hasyim-red) di Yatsrib
sedangkan keluarganya yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu
tentang dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri. Keempat
puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan 'Abdul Muththalib. Sedangkan
kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah.
S i r a h N a b a w i y a h | 41
'Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah lalu kita telah mengetahui bahwa
tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah dan ar-Rifadah setelah Hasyim diserahkan
kepada saudaranya, al-Muththalib bin 'Abdu Manaf {Dia adalah orang yang ditokohkan,
disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya
dengan al-Fayyadh karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa
Arab adalah yang murah hati-red)}. Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja
sekitar usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar berita tentang
dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air
matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan dinaikkannya ke atas tunggangannya dan
memboncengnya namun cucunya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya.
Kakeknya, al- Muththalib kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya
membawa serta cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut. Al-
Muththalib lantas bertutur: "sesungguhnya dia (cucunya, 'Abdul Muththalib) akan ikut
bersamanya menuju kekuasaan yang diwarisi oleh ayahnya (Hasyim-red), menuju Tanah
Haram Allah". Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Abdul Muththalib
dibonceng oleh kakeknya, al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya. Orangorang
berteriak: "inilah 'Abdul Muththalib!". Kakeknya, al-Muththalib memotong teriakan
tersebut sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini adalah anak saudaraku (keponakanku),
Hasyim". 'Abdul Muththalib akhirnya tinggal bersamanya hingga tumbuh dan menginjak
dewasa. Al-Muthtthalib meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan kekuasaannya
kemudian digantikan oleh cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan
terhadap kaumnya persis seperti nenek-nenek moyang dulu akan tetapi dia berhasil
melampaui mereka; dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang
belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh mereka
sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin besar.
Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman 'Abdul Muththalib) menyerobot
kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini menimbulkan amarahnya yang serta
merta meminta pertolongan para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang
paman. Namun mereka menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri
urusanmu dengan pamanmu itu". Akhirnya dia menyurati paman-pamannya dari pihak
ibunya, Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan memohon
bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'd bin 'Uday bersama delapan puluh orang kemudian
berangkat menuju ke arahnya dengan menunggang kuda. Sesampai mereka di al-Abthah,
sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh 'Abdul Muththalib yang langsung bertutur
kepadanya: "silahkan mampir ke rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi
Allah, aku tidak akan ( mampir ke rumahmu-red) hingga bertemu dengan Naufal", lantas
dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di dekat al-Hijr
(Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd langsung mencabut pedangnya
seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)! Jika tidak engkau kembalikan
kekuasaan anak saudara perempuanku (keponakanku) maka aku akan memenggalmu
S i r a h N a b a w i y a h | 42
dengan pedang ini". Naufal berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapannya ini
disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah
'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama disana, dia melakukan
umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam-red) kemudian pulang ke
Madinah. Menyikapi kejadian yang dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu
dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim. Suku
Khuza'ah tergerak juga untuk menolong 'Abdul Muththalib setelah melihat pertolongan
yang diberikan oleh Bani an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada Bani an-
Najjar):"kami juga melahirkannya ('Abdul Muththalib juga merupakan anak/turunan
kami-red) seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal ini
lantaran ibu dari 'Abdi Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki Darun
Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi Syams dan
Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ada dua momentum besar yang terjadi atas Baitullah di masa 'Abdul Muththalib:
Pertama, Penggalian sumur Zam-zam. Kedua, datangnya pasukan gajah.
Ringkasan momentum pertama : 'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan
untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan kepadanya dimana letaknya, lantas dia
melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut-red) dan menemukan
didalamnya benda-benda terpendam yang dulu dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka
akan keluar meninggalkan Mekkah; yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi
(baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia
jadikan sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan sebagai
lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga menyediakan
tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi para jama'ah haji.
Ketika sumur Zam-zam berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya.
Mereka berkata kepadanya: "ikutsertakan kami!". Dia menjawab: "aku tidak akan
melakukannya sebab ini merupakan proyek yang sudah aku tangani secara khusus".
Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi menyeretnya ke pengadilan seorang dukun
wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam namun dalam perjalanan mereka, bekal air
pun habis lalu Allah turunkan hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun
tercurah ke atas mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan
kepada 'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka masing-masing. Saat itulah
'Abdul Muththalib bernazar bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka sudah
mencapai usia baligh, meskipun mereka mencegahnya guna mengurungkan niatnya untuk
menyembelih salah seorang dari mereka disisi Ka'bah maka dia tetap akan melakukannya.
Ringkasan momentum kedua: Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa bawahan anS
i r a h N a b a w i y a h | 43
Najasyi di negeri Yaman ketika melihat orang-orang Arab melakukan haji ke Ka'bah, dia
juga membangun gereja yang amat megah di kota Shan'a'. Tujuannya adalah agar orangorang
Arab mengalihkan haji mereka ke sana. Niat jelek ini didengar oleh seorang yang
berasal dari Bani Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam
memasuki gereja tersebut, lalu dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran. Tatkala
mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan
pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000 personil) ke Ka'bah untuk
meluluhlantakkannya. Dia juga memilih gajah paling besar sebagai tunggangannya. Dalam
pasukan tersebut terdapat sembilan ekor gajah atau tiga ekor. Dia meneruskan
perjalanannya hingga sampai di al-Maghmas dan disini dia memobilisasi pasukannya,
menyiagakan gajahnya dan bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi
baru saja mereka sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara
Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau lagi
berjalan menuju Ka'bah dan ogah dikendalikan oleh mereka baik ke arah selatan, utara
atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut, gajah berdiri dan berlari dan
bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut duduk. Manakala mereka mengalami
kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas mereka burung-burung yang
berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar. Lalu Dia Ta'ala menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Burung tersebut semisal besi yang berkeluk/pengait (khathaathiif) dan kacang adas
(balsan). Setiap burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di
kedua kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu tersebut mengenai seseorang
maka anggota-anggota badan orang tersebut akan menjadi berkeping-keping dan hancur.
Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut; ada yang dapat keluar melarikan diri
tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalanjalan
lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah
kirimkan kepadanya satu penyakit yang membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal dan
berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai Shan'a' maka dia tak ubahnya seperti
seekor anak burung yang dadanya terbelah dari hatinya, untuk kemudian dia roboh tak
bernyawa.
Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka berpencar-pencar ke lereng-lereng gunung
dan bertahan di bukit-bukitnya karena merasa ngeri dan takut kejadian tragis yang
menimpa pasukan Abrahah tersebut akan menimpa diri mereka juga. Manakala pasukan
tersebut telah mengalami kejadian tragis dan mematikan tersebut, mereka turun gunung
dan kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh hari atau lima puluh
lima hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam; yaitu bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan
Maret pada tahun 571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog yang disajikan oleh Allah untuk
S i r a h N a b a w i y a h | 44
NabiNya dan BaitNya. Sebab ketika kita memandang ke Baitul Maqdis, kita melihat
bahwa kiblat ini (dulu, sebelum Ka'bah-red) telah dikuasai oleh musuh-musuh Allah dari
kalangan kaum Musyrikin dimana ketika itu penduduknya beragama Islam, yakni
sebagaimana yang terjadi dengan tindakan Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587
SM dan oleh bangsa Romawi pada tahun 70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak pernah dikuasai
oleh orang-orang Nasrani (mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang
Islam/Muslimun) padahal penduduknya adalah kaum Musyrikin.
Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam kondisi yang dapat mengekspos beritanya ke
seluruh penjuru dunia yang ketika itu sudah maju; Diantaranya, Negeri Habasyah yang
ketika itu memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Romawi . Di sisi lain, orangorang
Farsi masih mengintai mereka dan menunggu apa yang akan terjadi terhadap orangorang
Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka, ketika mendengar peristiwa tragis tersebut,
orang-orang Farsi segera berangkat menuju Yaman. Kedua negeri inilah (Farsi dan
Romawi) yang saat itu merupakan negara maju dan berperadaban (superpower). Peristiwa
tersebut juga mengundang perhatian dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan
kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai tempat
suci. Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari tempat ini mengaku sebagai pengemban
risalah kenabian maka hal inilah sesungguhnya yang merupakan kata kunci dari terjadinya
peristiwa tersebut dan penjelasan atas hikmah terselubung di balik pertolongan Allah
terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin) melawan kaum Musyrikin; suatu cara yang
melebihi kejadian Alam yang bernuasa kausalitas ini.
'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu
Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar, al-'Abbas.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah
dengan seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang
menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari nama-nama yang
sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera lagi yang bernama 'Abdul
Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak
lain adalah al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla adalah al-Ghaidaaq dan tidak ada
diantara putera-puteranya tersebut yang bernama Qutsam. Adapun puteri-puterinya
berjumlah enam orang, yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah,
Arwa dan Umaimah.
'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah bernama
Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin 'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah.
'Abdullah ini adalah anak yang paling tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib,
yang paling bersih jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban
yang dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas. Ceritanya; ketika
'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera dan mengetahui
S i r a h N a b a w i y a h | 45
bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya, dia kemudian memberitahu
mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis nama-nama
mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada
patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama
'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan
mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy
mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari fihak ibu) dari Bani Makhzum dan
saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas,
apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia
menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian datang
kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini memerintahkannya
untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama 'Abdullah dan sepuluh
ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib) harus
menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha.
Dan jika yang keluar atas nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban.
'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian
(sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan
sepuluh ekor onta, lalu keluarlah yang nama 'Abdullah; bila yang terjadi seperti ini maka
dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi
maka yang keluar adalah nama 'Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh
ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut
jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan
meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia
maupun binatang buas. Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab
secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu maka
dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam. Diriwayatkan
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: "Aku lah anak (cucu)
kedua orang yang dipersembahkan sebagai sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il
'alaihissalam dan ayah beliau 'Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari;
II/240-243).
'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya, 'Abdullah seorang gadis bernama Aminah
binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk wanita
idola di kalangan orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayahnya
adalah pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah
dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama
kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika sampai disana
dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di
Daar an-Naabighah al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu dia baru berumur 25 tahun dan tahun
meninggalnya tersebut adalah sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
sebagaimana pendapat mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia
meninggal dua bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika
S i r a h N a b a w i y a h | 46
berita kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang isteri meratapi kepergian sang suami
dengan untaian ar-Ratsaa' (bait syair yang berisi ungkapan kepedihan hati atas kematian
seseorang dengan menyebut kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan
menyentuh:
Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di tanah lapang berkerikil
Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang jelas
Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya
Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal putera Hasyim
Di saat mereka tengah memikul keranda kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya
Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih
Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah adalah: lima ekor onta, sekumpulan
kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama Barakah dan Kun-yah (nama
panggilannya) adalah Ummu Aiman yang merupakan pengasuh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam.

Rabu, 19 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 04 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

GAMBARAN MASYARAKAT ARAB JAHILIYAH

Setelah pada bagian yang lalu membahas kondisi politik dan agama di jazirah Arab, kita
masih menyisakan pembahasan tentang kondisi sosial, politik dan moral. Berikut ulasan
singkatnya:
Kondisi Sosial
Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakat Arab dimana antar satu dengan
lainnya, kondisinya berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di
lapisan kaum bangsawan mendapatkan kedudukan yang amat terpandang dan tinggi,
kemerdekaan berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi
terbesar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang
terhunus dan darah yang tertumpah. Seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan
hati dan keberaniannya di mata orang Arab, maka hendaklah waktunya yang banyak
hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika seorang wanita menghendaki,
dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat
menyulut api peperangan diantara mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi
bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap didalamnya.
Hubungan antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi
oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk menggurui mereka.
Sementara kondisi kaum bangsawan demikian, kondisi yang dialami oleh lapisan
masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang bercampur baur
antara kaum laki-laki dan wanita. Kami hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah
berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah dan perbuatan keji. Imam Bukhari dan
lainnya meriwayatkan dari 'Aisyah radhiallâhu 'anha bahwa pernikahan pada masa
Jahiliyah terdiri dari empat macam:
Pertama , Pernikahan seperti pernikahan orang sekarang; yaitu seorang laki-laki
mendatangi laki-laki yang lain dan melamar wanita yang dibawah perwaliannya atau anak
perempuannya, kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.
Kedua, seorang laki-laki berkata kepada isterinya manakala ia sudah suci dari haidnya,
"pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya", kemudian setelah itu, isterinya
ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilannya dari
S i r a h N a b a w i y a h | 33
laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya, bila si suaminya masih berselera
kepadanya maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin
mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah al-
Istibdha'.
Ketiga , sekelompok orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian
mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan
melahirkan, kemudian setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus
kepada mereka (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka
yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita ini
berkata kepada mereka: "kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku
sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu wahai si fulan!". Dia menyebutkan
nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.
Keempat , Banyak laki-laki mendatangi seorang wanita sedangkan si wanita ini tidak
menolak sedikitpun siapa pun yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur; di
pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapa
pun yang menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, lakilaki
yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli pelacak (al-
Qaafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang
mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas dipanggillah si anak tersebut
sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.
Maka ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
hapuskan semua pernikahan kaum Jahiliyah tersebut kecuali pernikahan yang ada saat ini.
Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan
diadakan dibawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang
dalam perang antar suku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan
menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan
mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.
Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak isteri (poligami) tanpa batasan
tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini isteri bapak-bapak
mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibuibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu
yang perempuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
S i r a h N a b a w i y a h | 34
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(23)". [Q.,s. 4/an-
Nisa': 22-23]. Hak mentalak ada pada kaum laki-laki tetapi tidak memiliki batasan
tertentu.
Perbuatan zina merata pada setiap lapisan masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan
hal itu kepada satu lapisan tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok lakilaki
dan wanita yang terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang
memiliki jiwa besar dan menolak keterjerumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita
merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budah
wanita) amat parah sekali. Nampaknya, mayoritas kaum Jahiliyah tidak merasakan
keterjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu aib bagi mereka. Imam
Abu Daud meriwayatkan dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata:
seorang laki-laki berdiri sembari berkata: wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah
anakku dari hasil perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "tidak ada dakwaan dalam
Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyah
telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada yang empunya
ranjang,yaitu suami yang dengan nikah yang shah-penj), sedangkan kehinaan adalah hanya
bagi wanita pezina". Begitu juga dalam hal ini, terdapat kisah yang amat terkenal yang
terjadi antara Sa'ad bin Abi Waqqash dan 'Abd bin Zam'ah dalam mempersoalkan nasab
anak dari budak wanita Zam'ah, yaitu 'Abdur Rahman bin Zam'ah.
Sedangkan hubungan antara seorang bapak dengan anak-anaknya, amat berbeda-beda;
diantara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait:
Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami
Bagai buah hati, berjalan melenggang diatas bumi
Diantara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak- anak wanita mereka karena takut
malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan
melarat. Allah berfirman: "…dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka..". (Q.,s.6/al-
An'am:151). Allah juga berfirman: "Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar
dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat
marah.(58) Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (59)". (Q.,s. 16/an-Nahl: 58-59). Allah
S i r a h N a b a w i y a h | 35
berfirman lagi: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kami lah Yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar".(Q.,s. 17/al-Isra': 31). Allah berfirman
dalam ayat yang lain: "dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya". (Q.,s. 81/at-Takwir: 8). Akan tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang
termaktub dalam ayat-ayat diatas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di
masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat
membentengi diri mereka dari serangan musuh.
Sedangkan pergaulan antar seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan
kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan.
Semangat untuk bersatu begitu membudaya antar sesama suku yang menambah rasa
fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme
rasial dan hubungan tali rahim. Mereka hidup dibawah semboyan yang bertutur:
"Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zhalim ataupun dizhalimi". Mereka menerapkan
semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang telah diralat oleh Islam yaitu
menolong orang yang berbuat zhalim maksudnya mencegahnya melakukan perbuatan itu.
Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan
kepemimpinan seringkali mengakibatkan terjadinya perang antar suku yang masih
memiliki hubungan se-bapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi
antara suku Aus dan Khazraj, 'Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, dan lain-lain.
Di lain pihak, hubungan yang terjadi antar suku yang berbeda-beda benar-benar
berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku dalam peperangan.
Hanya saja terkadang, rasa sungkan serta rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan
kebiasan bersama yang sudah ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit
mengurangi deras dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi
tertentu, loyalitas, persekutuan dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku
yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan
penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang (al-
Asyhurul Hurum) sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari rizki guna
kebutuhan sehari-hari.
Singkat kata, bahwa kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh
dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimanamana.
Orang-Orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjual belikan bahkan
terkadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara
setiap ada pemerintahan maka ujug-ujugnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan
mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan
musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.
S i r a h N a b a w i y a h | 36
Kondisi Ekonomi
Kondisi sosial diatas berimbas kepada kondisi ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat
cara dan gaya hidup bangsa Arab. Berniaga merupakan sarana terbesar mereka dalam
menggapai kebutuhan hidup, namun begitu, roda perniagaan tidak akan stabil kecuali bila
keamanan dan perdamaian membarenginya. Akan tetapi kedua situasi tersebut lenyap dari
Jazirah Arab kecuali pada "al-Asyhurul Hurum" saja. Dalam bulan-bulan inilah pasarpasar
Arab terkenal seperti 'Ukazh, Dzil Majaz, Majinnah dan lainya beroperasi.
Sedangkan dalam kegiatan industri mereka termasuk bangsa yang amat jauh jangkauannya
dari hal itu. Sebagian besar hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah
berupa tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat
Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada sedikit
industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta onta. Kaum
wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun barang-barang tersebut sewaktu-waktu
dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan serta kehidupan papa
menyelimuti masyarakat.
Kondisi Moral
Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Jahiliyah identik dengan kehidupan nista,
pelacuran dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh
perasaan. Namun begitu, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat
menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Diantara akhlak tersebut
adalah:
Kemurahan hati
Mereka berlomba-lomba dalam sifat ini dan membangga-banggakannya. Setengah dari
bait-bait Sya'ir mereka penuh dengan ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri
sendiri dan kepada orang lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang
kedatangan tamu di musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta
dalam kondisi tidak memiliki harta apa-apa selain onta betina yang merupakan satusatunya
sumber hidupnya dan keluarganya, akan tetapi getaran kemurahan hati yang
menggema di dada membuat mereka tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan suguhan
istimewa buat tamunya, lantas disembelihlah onta satu-satunya tersebut. Diantara
pengaruh sifat murah hati tersebut; mereka sampai-sampai rela menanggung denda yang
berlipat dan beban-beban berat demi upaya mencegah pertumpahan darah dan lenyapnya
jiwa. Mereka berbangga dengan hal itu dan memuji-muji diri dihadapan para tokoh dan
pemuka.
Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka memuji-muji diri karena minum khamar/arak.
S i r a h N a b a w i y a h | 37
Hal ini sebenarnya bukanlah lantaran bangga dengan esensi minum-minum itu, tetapi
lantaran hal itu merupakan sarana menuju tertanamnya sifat murah hati tersebut, dan juga
sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang boros. Dan lantaran itu pula, mereka
menamakan pohon anggur dengan al-Karom (murah hati) sedangkan arak yang terbuat
dari anggur itu mereka namakan bintul Karom. Jika anda membuka kembali Diwan
(Buku-buku/lembaran-lembaran yang mengoleksi) sya'ir-sya'ir Jahiliyah, anda akan
menemukan satu bab yang bertema : al-Madih wal fakhr (puji-pujian dan kebanggaan diri)
. Dalam hal ini, 'Antarah bin Syaddad al-'Absy mengurai bait-bait syairnya dalam
Mu'allaqah-nya (Mu'allaqah artinya yang digantungkan maksudnya bahwa kumpulan
sya'ir-sya'ir tujuh Penyair 'Arab terkenal pada masa itu yang dinamakan dengan al-
Mu'allaqat as-Sab', termasuk diantaranya 'Antarah ini, digantungkan secara bersama di
dinding ka'bah sehingga semua orang yang melakukan thawaf dapat mengetahui sekaligus
membacanya-penj):
"Sungguh aku telah menenggak arak di tempat mulia sesudah wanita-wanita penghibur
ditelantarkan dengan cangkir dari kaca kuning diatas nampan nan terangkai bunga dalam
genggaman tangan dingin Saat aku menenggak, sungguh aku habiskan seluruh
Hartaku,namun begitu, kehormatanku masih sadarkan Kala aku tersadarkan, takkan
lengah menyongsong panggilan Sebagaimana hal itu melekat pada sifat dan tabi'atku"
Pengaruh lainnya dari sifat al-Karom adalah mereka menyibukkan diri dalam bermain judi
dimana mereka menganggap hal itu sebagai sarana menuju sifat tersebut karena dari
keuntungan yang diraih dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan buat memberi
makan fakir miskin. Atau bisa juga diambil dari sisa keuntungan yang diraih masingmasing
pemenang. Oleh karena itu, anda lihat Al-Qur'an tidak mengingkari manfa'at dari
khamar dan judi (maysir) itu, akan tetapi menyatakan : "..Dan dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya". (Q,.s. 2/al-Baqarah: 219).
Menepati Janji
Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama yang harus dipegang teguh meskipun
untuk mendapatkannya mereka menganggap enteng membunuhi anak-anak mereka dan
menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan
membaca kisah Hani' bin Mas'ud asy-Syaibany, as-Samaual bin 'Adiya dan Hajib bin
Zurarah at-Tamimy.
Kebanggan pada diri sendiri dan sifat pantang menerima pelecehan dan
kezhaliman
Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka keberanian yang amat berlebihan,
cemburu buta dan cepatnya emosi meluap. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan
pernah mau mendengar ucapan yang mereka cium berbau penghinaan dan pelecehan.
Dan apabila hal itu terjadi, maka mereka tak segan-segan menghunus pedang dan
S i r a h N a b a w i y a h | 38
mengacungkan tombak, dan mengobarkan peperangan yang panjang. Mereka juga tidak
peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.
Tekad yang pantang surut
Bila mereka sudah bertekad untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap suatu
kemuliaan dan kebanggaan maka tak ada satupun yang dapat menyurutkan tekad mereka
tersebut, bahkan mereka akan nekad menerjang bahaya demi hal itu.
Lemah lembut, tenang dan waspada
Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini, hanya saja keberadaannya seakan terhalangi
oleh amat berlebihannya sifat pemberani dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap
untuk berperang.
Gaya hidup lugu dan polos ala Badui yang belum terkontaminasi oleh kotoran peradaban
dan tipu dayanya
Implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya sifat jujur, amanah serta anti menipu
dan mengibul.
Kita melihat bahwa tertanamnya akhlak yang amat berharga ini, disamping letak geografis
jazirah Arab di mata dunia adalah sebagai sebab utama terpilihnya mereka untuk
mengemban risalah yang bersifat umum dan memimpin umat manusia dan masyarakat
dunia. Sebab akhlak ini meskipun sebagiannya dapat membawa kepada kejahatan dan
menimbulkan peristiwa yang tragis, namun sebenarnya ia adalah akhlak yang amat
berharga, dan akan menciptakan keuntungan bagi umat manusia secara umum setelah
adanya sedikit koreksi dan perbaikan atasnya. Dan hal inilah yang dilakukan oleh Islam
ketika datang.
Nampaknya, akhlak yang paling berharga dan amat bermanfaat menurut mereka setelah
sifat menepati janji adalah sifat kebanggaan pada diri dan tekad pantang surut. Hal
demikian, karena tidak mungkin dapat mengikis kejahatan dan kerusakan yang ada serta
menciptakan sistem yang penuh dengan keadilan dan kebaikan kecuali dengan kekuatan
yang memiliki daya gempur dan tekad yang membaja.
Selain sifat-sifat diatas, mereka juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya namun bukanlah
maksud kami menghadirkannya disini untuk melacaknya secara tuntas.

Selasa, 11 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 03 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

AGAMA BANGSA ARAB
Mayoritas Bangsa Arab masih mengikuti dakwah Nabi Ismail 'alaihissalam dan menganut
agama yang dibawanya. Beliau meneruskan dakwah ayahnya, Ibrahim 'alaihissalam, yaitu
menyembah Allah dan mentauhidkanNya. Untuk beberapa lama mereka akhirnya mulai
lupa banyak hal tentang apa yang pernah diajarkan kepada mereka. Sekalipun begitu,
tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim masih tersisa pada mereka, hingga munculnya
Amru bin Luhai, pemimpin Bani Khuza'ah. Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal suka
berbuat kebajikan, bershadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga
semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai salah
seorang ulama besar dan wali yang disegani. Kemudian dia mengadakan perjalanan ke
Syam. Disana dia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal
itu sebagai sesuatu yang baik serta benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para
rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkannya di dalam
ka'bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk menjadikan sekutu bagi Allah.
Orang-orang Hijaz pun banyak yang mengiktui penduduk Mekkah karena mereka
dianggap sebagai pengawas Ka'bah dan penduduk tanah suci.
Berhala yang paling dahulu mereka sembah adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal
di tepi laut Merah dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di
lembah kurma (wadi nakhlah). Ketiga berhala tersebut merupakan yang paling besarnya.
Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran
di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhai mempunyai pembantu dari
jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh (Wud,
Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke sana untuk
mencari keberadaannya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia
menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah. Mereka membawa pulang
berhala-berhala itu ke tempat mereka masing-masing. Sehingga di setiap kabilah dan di
setiap rumah hampir pasti ada berhalanya. Mereka juga memajang berbagai macam
berhala dan patung di al-Masjidil Haram . Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka'bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala. Beliau
menghancurkan berhala-berhala itu hingga runtuh semua, lalu memerintahkan agar
berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar.
Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala, yang menjadi fenomena
S i r a h N a b a w i y a h | 24
terbesar dari agama orang-orang Jahiliyyah, yang menganggap dirinya masih menganut
agama Ibrahim.
Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan berhala, yang hampir
semuanya dibuat oleh Amru bin Luhai. Sementara orang-orang mengira apa yang dibuat
Amru tersebut adalah sesuatu yang baru dan baik serta tidak merubah agama Ibrahim.
Diantara upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah :
Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit di hadapannya,
meminta pertolongan tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan,
dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafa'at di sisi Allah
dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud di
hadapannya.
Mereka bertaqarrub kepada berhala mereka dengan berbagai bentuk taqarrub/ibadah;
mereka menyembelih dan berkorban untuknya dan dengan namanya.
Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firmanNya :
"…Dan apa yang disembelih untuk berhala…." (al-Maidah: 3)
"Dan jagnanlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya". (Al-An'am: 121).
Jenis taqarrub yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan dan minuman
yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian
tertentu dari hasil panen dan binatang ternak mereka. Diantara hal yang amat aneh adalah
perbuatan mereka mengkhususkan bagian yang lain untuk Allah. Banyak sebab-sebab
yang mereka jadikan alasan kenapa mereka memindahkan sesembahan yang sebenarnya
mereka peruntukkan untuk Allah kepada berhala-berhala mereka, akan tetapi mereka
tidak memindahkan sama sekali sesembahan yang sudah diperuntukkan untuk berhala
mereka. Allah berfirman :
"Dan, mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman yang diciptakan
Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, ' Ini untuk Allah dan ini
untuk berhala-berhala kami'. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala
mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka
sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu".
(Al-An'am: 136).
Diantara jenis taqarrub yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan sebagian
hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala. Allah berfirman :
" Dan, mereka mengatakan,'inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh
S i r a h N a b a w i y a h | 25
memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki', menurut anggapan mereka, dan binatang ternak
yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat
kedustaan terhadap Allah". (Al-An'am: 138).
Diantaranya lagi adalah ritual al-bahirah, as-sa'ibah, al-washilah, al-hami . Ibnu Ishaq
berkata: "al-bahirah ialah anak as-sa'ibah yaitu onta betina yang telah beranak sepuluh
betina secara berturut-turut dan tidak diselingi sama sekali oleh yang jantan. Onta
semacam inilah yang dilakukan terhadapnya ritual sa'ibah; ia tidak boleh ditunggangi,
tidak boleh diambil bulunya, susunya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika
kemudian melahirkan lagi anak betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus
dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan juga harus mendapat perlakuan yang sama
seperti induknya. Al-Washilah adalah domba betina yang lahir dari lima perut; jika
kemudian lahir sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diantarai lahirnya yang
jantan, mereka mengadakan ritual washilah. Mereka berkata: "aku telah melakukan
washilah". Kemudian bila domba tersebut beranak lagi, maka mereka persembahkan
kepada kaum laki-laki saja kecuali ada yang mati maka dalam hal ini kaum laki-laki dan
wanita bersama-sama melahapnya. Sedangkan Al-hami adalah onta jantan yang sudah
membuahkan sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Punggung
onta seperti ini dijaga, tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus
dibiarkan lepas dan tidak digunakan kecuali untuk kepentingan ritual tersebut. Berkenaan
dengan hal tersebut, Allah menurunkan ayat :
"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahirah, sa'ibah, washilah dan hami. Akan
tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak
mengerti". (al-Maidah: 103).
Allah juga menurunkan ayat :
" Dan, mereka mengatakan :'apa yang di dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria
kami dan diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria
dan wantia sama-sama boleh memakannya". (Al-An'am: 139).
Sa'id bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak diperuntukkan
bagi taghut-taghut mereka. Di dalam hadits yang shahih dan marfu', bahwa Amru bin
Luhai adalah orang pertama yang melakukan ritual saibah (mempersembahkan onta untuk
berhala).
Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan
bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah, menghubungkan mereka
kepadaNya serta meminta syafa'at kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-
Qur'an :
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
S i r a h N a b a w i y a h | 26
sedekat-dekatnya". (Az-Zumar:3).
"Dan, mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan
kepada mereka dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata: 'mereka itu adalah pemberi syafa'at
kepada kami disisi Allah". (Yunus: 18).
Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan sesuatu yang disebut al-azlam atau anak
panah yang tidak ada bulunya. Anak panah itu ada tiga jenis: satu jenis ditulis dengan kata
"ya", satu lagi ditulis dengan kata "tidak" dan jenis ketiga dengan kata "dibiarkan". Mereka
mengundi nasib untuk menentukan apa yang akan dilakukan, seperti bepergian, menikah
atau lain-lainnya, dengan menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar tulisan "ya",
mereka melaksanakannya, dan jika yang keluar adalah tulisan "tidak" , mereka
menangguhkannya pada tahun itu hingga mereka melakukannya lagi. Dan jika yang mncul
adalah tulisan "dibiarkan" mereka mengulangi undiannya. Ada lagi jenis lain, yaitu tulisan
"air" dan "tebusan", begitu juga tulisan "dari kalian", "bukan dari kalian" atau "disusul".
Bila mereka ragu terhadap nasab seseorang mereka membawanya ke hubal dan membawa
serta juga seratus hewan kurban lalu diserahkan kepada pengundi. Dalam hal ini, jika yang
keluar adalah tulisan "dari kalian", maka dia diangkat sebagai penengah/pemutus perkara
diantara mereka. Jika yang keluar tulisan "bukan dari kalian" maka dia diangkat sebagai
sekutu. Sedangkan jika yang keluar adalah tulisan "disusul" maka kedudukannya di tengah
mereka adalah sebagai orang yang tidak bernasab dan tidak diangkat sebagai sekutu.
Tak beda jauh dengan hal ini adalah perjudian dan undian. Mereka membagi-bagikan
daging unta yang mereka sembelih berdasarkan undian tersebut.
Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, dukun (para normal) dan ahli nujum
(astrolog). Peramal adalah orang yang suka memberikan informasi tentang hal-hal yang
akan terjadi di masa depan, mengaku-aku dirinya mengetahui rahasia-rahasia. Diantara
para peramal ini, ada yang mendakwa dirinya memiliki pengikut dari bangsa jin yang
memberikan informasi kepadanya. Diantara mereka juga ada yang mendakwa mengetahui
hal-hal yang ghaib berdasarkan pemahaman yang diberikan kepadanya. Ada lagi dari
mereka yang mendakwa dirinya mengetahui banyak hal dengan mengemukan premispremis
dan sebab-sebab yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui posisinya
berdasarkan kepada ucapan si penanya, perbuatannya atau kondisinya; inilah yang disebut
dengan 'arraf (dukun/para normal) seperti orang yang mendakwa dirinya mengetahui
barang yang dicuri, letak terjadinya pencurian, juga orang yang tersesat, dan lain-lain.
Sedangkan ahli nujum (astrolog) adalah orang yang mengamati keadaan bintang dan
planet, lalu dia menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia
bisa mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi di
kemudian hari. Membenarkan ramalan ahli nujum/astrolog ini pada hakikatnya
merupakan bentuk kepercayaan terhadap bintang-bintang. Diantara keyakinan mereka
S i r a h N a b a w i y a h | 27
terhadap bintang-bintang adalah keyakinan terhadap anwa' (simbol tertentu yang dibaca
sesuai dengan posisi bintang) ; oleh karenanya mereka selalu mengatakan ; 'hujan yang
turun ke atas kami ini lantaran posisi bintang begini dan begitu'.
Di kalangan mereka juga beredar kepercayaan ath-Thiyarah yaitu merasa nasib sial atau
meramal nasib buruk (karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja) . Pada
mulanya mereka mendatangi seekor burung atau kijang, lalu mengusirnya. Jika burung
atau kijang itu mengambil arah kanan, maka mereka jadi bepergian ke tempat yang
hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau kijang itu
mengambil arah kisri, maka mereka tidak berani bepergian dan mereka meramal hal itu
sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal sial jika di tengah jalan bertemu burung atau
hewan tertentu.
Tak bebeda jauh dengan hal ini adalah kebiasaan mereka yang menggantungkan ruas
tulang kelinci (dengan kepercayaan bahwa hal itu dapat menolak bala'-penj). Mereka juga
menyandarkan kesialan kepada hari-hari, bulan-bulan, hewan-hewan, rumah-rumah atau
wanita-wanita. Begitu juga keyakinan terhadap penularan penyakit dan binatang berbisa.
Mereka percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tenteram jika dendamnya
tidak dilampiaskan. Ruhnya bisa menjadi binatang berbisa dan burung hantu yang
beterbangan di padang sahara/tanah lapang seraya berteriak: 'Haus! haus! beri aku
minum! beri aku minum!', dan bila telah dilampiaskan dendamnya maka ruhnya merasa
tenang dan tentram kembali.
Orang-orang Jahiliyah masih dalam kondisi kehidupan demikian, tetapi ajaran Ibrahim
masih tersisa pada mereka dan belum ditinggalkan sama sekali, seperti pengagungan
terhadap baitullah (ka'bah), thawaf, haji, umrah, wukuf di 'Arafah dan Muzdalifah, serta
ritual mempersembahkan onta sembelihan untuk ka'bah. Memang, dalam hal ini terjadi
hal-hal yang mereka ada-adakan. Diantaranya; orang-orang Quraisy berkata, 'kami anak
keturunan Ibrahim dan penduduk tanah haram, penguasa ka'bah dan penghuni Mekkah.
Tak seorangpun dari Bangsa Arab yang mempunyai hak dan kedudukan seperti kamidalam
hal ini, mereka menjuluki diri mereka dengan alhums (kaum pemberani)- ; oleh
karena itu tidak selayaknya kami keluar dari tanah haram menuju tanah halal (di luar tanah
haram). Mereka tidak melaksanakan wuquf di Arafah, juga tidak ifadhah dari sana, tapi
melaukan ifadhah dari Muzdalifah. Mengenai hal ini,turun firman Allah:
"Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak" . (al-Baqarah: 199).
Diantara hal-hal lain yang mereka katakana adalah : "tidak selayaknya alhums
mengkonsumsi keju, memasak dan menyaring samin/mentega saat mereka sedang
berihram, serta memasuki rumah-rumah dengan pakaian dari bulu/wol. Juga tidak
selayaknya berteduh ketika lagi berteduh kecuali di rumah-rumah yang terbuat dari kulit
selama mereka dalam keadaan berihram".
S i r a h N a b a w i y a h | 28
Mereka juga berkata: "Penduduk di luar tanah haram tidak boleh memakan makanan yang
mereka bawa dari luar tanah haram ke tanah haram, jika kedatangan mereka itu
dimaksudkan untuk melakukan haji atau umrah".
Hal-Hal lainya yang mereka buat-buat adalah mereka melarang orang yang datang dari
luar tanah haram bila mereka datang dan berthawaf untuk pertama kalinya kecuali dengan
mengenakan pakaian kebesaran alhums dan jika mereka tidak mendapatkannya maka
kaum laki-laki harus thawaf dalam keadaan telanjang. Sementara wanita juga harus
menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali pakaian rumah yang longgar,kemudian baru
berthawaf dan melantunkan :
"Hari ini tampak sebagian atau seluruhnya apa yang nampak itu tiadalah ia perkenankan"
Dan berkaitan dengan itu, turun firman Allah :
"Hai anak Adam! Pakailah pakaian yang indah di setiap (memasuki) masjid". (al-A'raf: 31).
Jika salah seorang dari laki-laki dan wanita merasa lebih hormat untuk thawaf dengan
pakaian yang dikenakannya dari luar tanah haram maka sehabis thawaf dia harus
membuangnya dan ketika itu tak seorangpun yang boleh menggunakannya lagi; baik dari
mereka maupun selain mereka.
Hal lainya lagi adalah perlakuan mereka yang tidak mau masuk rumah dari pintu depan
bila sedang berihram, tetapi mereka melubangi bagian tengah rumah untuk tempat masuk
dan keluar, dan mereka manganggap pikiran sempit semacam ini sebagai kebaktian (birr);
maka hal semacam ini kemudian dilarang oleh Al-Qur'an dalam firmanNya :
"Dan bukanlah kebaktian itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu
ialah kebaktian orang yang bertakwa". (al-Baqarah: 189).
Kepercayaan semacam ini ; kepercayaan bernuansa syirik, penyembahan terhadap berhala,
keyakinan terhadap hipotesis-hipotesis lemah dan khurafat-khurafat adalah merupakan
kepercayaan/agama mayoritas Bangsa Arab. Disamping itu juga, ada agama lain seperti;
Yahudi, Nashrani, Majusi dan Shabi'ah. Agama-agama ini juga mendapatkan jalan untuk
memasuki pemukiman Bangsa Arab.
Ada dua periode yang sempat mewakili keberadaan orang-orang Yahudi di jazirah Arab:
Proses hijrah yang mereka lakukan pada periode penaklukan Bangsa Babilonia dan
Assyiria di Palestina; tekanan yang dialami oleh orang-orang Yahudi, luluh lantaknya
negeri dan hancurnya rumah ibadah mereka oleh Bukhtanashshar pada tahun 587 SM
serta ditawan dan dibawanya sebagian besar mereka ke Babilonia menyebabkan sebagian
mereka yang lain meninggalkan negeri Palestina menuju Hijaz dan bermukim di sekitar
belahan utaranya.
S i r a h N a b a w i y a h | 29
Diawali dari sejak pendudukan yang dilakukan oleh Bangsa Romawi terhadap Palestina
dibawah komando Pettis pada tahun 70 M; adanya tekanan dari orang-orang Romawi
terhadap bangsa Palestina, hancur dan luluh lantaknya rumah ibadah mereka
membuahkan berimigrasinya banyak suku dari bangsa Yahudi ke Hijaz dan menetap di
Yatsrib (Madinah sekarang-penj), Khaibar dan Taima'. Disana mereka mendirikan
perkampungan, istana-istana dan benteng-benteng. Agama Yahudi tersebar di kalangan
sebagian bangsa Arab melalui kaum imigran Yahudi tersebut. Di kemudian harinya
mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam percaturan politik pada periode
tersebut sebelum munculnya Islam. Ketika Islam muncul, suku-suku Yahudi yang sudah
ada dan masyhur adalah Khaibar, an-Nadhir, al-Mushthaliq, Quraizhah dan Qainuqa'.
Sejarawan, as-Samhudi menyebutkan dalam bukunya "wafâul wafa' " halaman 116 bahwa
suku-suku Yahudi yang mampir di Yatsrib dan datang ke sana dari waktu ke waktu
berjumlah lebih dari dua puluh suku.
Sementara itu, masuknya agama Yahudi di Yaman adalah melalui penjual jerami, As'ad
bin Abi Karb. Ketika itu, dia pergi berperang ke Yatsrib dan disanalah dia memeluk
agama Yahudi. Dia membawa serta dua orang ulama Yahudi dari suku Bani Quraizhah ke
Yaman. Agama Yahudi tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana, terlebih lagi ketika
anaknya, Yusuf yang bergelar Dzu Nuwas menjadi penguasa di Yaman; dia menyerang
penganut agama Nashrani dari Najran dan mengajak mereka untuk menganut agama
Yahudi, namun mereka menolak. Karena penolakan ini, dia kemudian menggali parit dan
mencampakkan mereka ke dalamnya lalu mereka dibakar hidup-hidup. Dalam
tindakannya ini, dia tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil
dan orang-orang berusia lanjut. Sejarah mencatat, bahwa jumlah korban pembunuhan
massal ini berkisar antara 20.000 hingga 40.000 jiwa. Peristiwa itu terjadi pada bulan
Oktober tahun 523 M. Al-Qur'an menceritakan sebagian dari drama tragis tersebut dalam
surat al-Buruj (tentang Ashhabul Ukhdud).
Sedangkan agama Nasrani masuk ke jazirah Arab melalui pendudukan orang-orang
Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah yang pertama kali di Yaman
terjadi pada tanun 340 M dan berlangsung hingga tahun 378 M. Pada masa itu, gerakan
kristenisasi mulai merambah pemukiman di Yaman. Tak berapa jauh dari masa ini,
seorang yang yang dikenal sebagai orang yang zuhud, doanya mustajab dan juga dianggap
mempunyai kekeramatan. Orang ini dikenal dengan sebutan Fimiyun; dialah yang datang
ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama Masehi. Mereka
melihat tanda-tanda kejujuran pada dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu
mereka menerima dakwahnya dan bersedia memeluk agama Nasrani.
Tatkala orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya pada tahun 525
M; sebagai balasan atas perlakuan Dzu Nuwas yang dulu pernah dilakukannya, dan
S i r a h N a b a w i y a h | 30
tampuk pimpinan dipegang oleh Abrahah, maka dia menyebarkan agama Nasrani dengan
gencar dan target sasaran yang luas hingga mencapai puncaknya yaitu tatkala dia
membangun sebuah gereja di Yaman, yang diberi nama "Ka'bah Yaman". Dia
menginginkan agar haji yang dilakukan oleh Bangsa Arab dialihkan ke gereja ini.
Disamping itu,dia juga berniat menghancurkan Baitullah di Mekkah, namun Allah
membinasakannya dan akan mengazabnya di dunia dan akhirat.
Agama Nashrani dianut oleh kaum Arab Ghassan, suku-suku Taghlib dan Thayyi' dan
selain kedua suku terakhir ini. Hal itu disebabkan mereka bertetangga dengan orang-orang
Romawi. Bukan itu saja, bahkan sebagian raja-raja Hirah juga telah memeluknya.
Sedangkan agama Majusi lebih banyak berkembang di kalangan orang-orang Arab yang
bertetangga dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang Arab di Iraq, Bahrain (tepatnya
di Ahsa'), Hajar dan kawasan tepi pantai teluk Arab yang bertetangga dengannya. Elite-
Elite politik Yaman juga ada yang memeluk agama Majusi pada masa pendudukan Bangsa
Persia terhadap Yaman.
Adapun agama Shabi'ah; menurut penemuan yang dilakukan melalui penggalian dan
penelusuran peninggalan-peninggalan mereka di negeri Iraq dan lain-lainnya
menunjukkan bahwa agama tersebut dianut oleh kaum Ibrahim Chaldeans. Begitu juga,
agama tersebut dianut oleh mayoritas penduduk Syam dan Yaman pada zaman purbakala.
Setelah beruntunnya kedatangan beberapa agama baru seperti agama Yahudi dan Nasrani,
agama ini mulai kehilangan identitasnya dan aktivutasnya mulai redup. Tetapi masih ada
sisa-sisa para pemeluknya yang membaur dengan para pemeluk Majusi atau hidup
berdampingan dengan mereka, yaitu di masyarakat Arab di Iraq dan di kawasan tepi
pantai teluk Arab.
Kondisi Kehidupan Agama
Agama-agama tersebut merupakan agama yang sempat eksis sebelum kedatangan Islam.
Namun dalam agama-agama tersebut, sudah terjadi penyimpangan dan hal-hal yang
merusak. Orang-orang Musyrik yang mendakwa diri mereka adalah penganut agama
Ibrahim, justeru keadaannya teramat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim.
Ajaran-ajaran tentang akhlaq mulia mereka sudah abaikan sehingga maksiat tersebar
dimana-mana. Seiring dengan peralihan zaman secara bertahap terjadi perkembang yang
sama seperti ajpa yang dilakukan oleh para penyembah berhala (paganis). Adat istiadat
dan tradisi-tradisi yang berlaku telah berubah menjadi khurafat-khurafat dalam agama dan
ini memiliki dampak negatif yang amat parah terhadap kehidupan sosio politik dan religi
masyarakat.
Lain lagi perubahan yang terjadi terhadap orang-orang Yahudi; mereka telah menjadi
S i r a h N a b a w i y a h | 31
manusia yang dijangkiti penyakit riya' dan menghakimi sendiri. Para pemimpin mereka
menjadi sesembahan selain Allah; menghakimi masyarakat seenaknya dan bahkan
menvonis mereka seakan mereka mengetahui apa yang terbetik dihati dan dibibir mereka.
Ambisi utama mereka hanyalah bagaimana mendapatkan kekayaan dan kedudukan,
sekalipun berakibat lenyapnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian
terhadap ajaran-ajaran yang telah diperintahkan oleh Allah dan yang harus dijunjung
tinggi oleh setiap orang.
Berbeda dengan agama Nashrani, ia berubah menjadi agama berhala (paganisme) yang
sulit dipahami dan mengalami pencampuradukan yang amat janggal antara pemahaman
terhadap Allah dan manusia. Agama semacam ini tidak berpengaruh banyak dan secara
signifikan terhadap bangsa Arab karena ajaran-ajarannya jauh dari gaya hidup yang
mereka kenal dan lakoni. Karenanya, tidak mungkin pula mereka jauh dari gaya hidup
tersebut.
Sementara kondisi semua agama bangsa Arab, tak ubahnya seperti kondisi orang-orang
Musyrik; perasaan hati yang sama, kepercayaan yang beragam, tradisi dan kebiasaan yang
saling sinkron.

Minggu, 02 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 02 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB


Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum
Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan),
agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk
memahami kondisi yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.
Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua
kelompok:
Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki
independensi dan berdiri sendiri
Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak
istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki independensi.
Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang
raja yang mengenakan mahkota.
Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Syam,
Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki
mahkota.
Raja-raja di Yaman
Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah kaum Saba'. Mereka bisa diketahui
lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak
peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada tahun sebelas SM.
Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat diperkirakan sebagai berikut :
Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan
dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan
ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar jarak 50 km
ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang
dikenal dengan sebutan Kharibah.
S i r a h N a b a w i y a h | 10
Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama
bendungan Ma'rib, yang memiliki peran tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang
mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam
dan luar negeri Arab.
Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan
dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan
raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah.
Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.
Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan
dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba',
dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan
dikenal kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di
sebuah bukit yang memutar dekat Yarim.
Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami kerugian besar dalam
perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ;
pertama, dikuasainya kawasan utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai
jalur perdagangan laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di
Mesir, Syria dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar masingmasing
kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar
suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.
Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini dinasti mereka
dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang mereka alami penuh dengan
kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya
perang keluarga yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu
mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah renggut.
Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta atas
bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri
Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi
antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun
378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian
bendungan Ma'rib jebol hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh
Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa besar
yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa
mereka.
Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang
orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka
meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia membuat parit-parit
S i r a h N a b a w i y a h | 11
besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut
hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian
ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk
memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando
imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya
telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka sehingga bergabunglah
sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. Mereka untuk kedua kalinya berhasil
menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi
penguasa di sana atas penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh
Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan
selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah.
Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam
sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil).
Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang
kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter dan sadis dari orangtuanya.
Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orangorang
Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil
sehingga mereka akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman.
Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang
bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat
menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah
orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya.
Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu hari mereka berhasil
membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi
Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan
menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal
itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang
memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhirlah kekuasaan
kekisraan Persia atas negeri Yaman *.
* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161,
dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini; "Tarikhul 'Arab
Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi
perbedaaan yang amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian
penulis mengomentari tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah :
"AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".
Raja-raja di Hirah
Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga
S i r a h N a b a w i y a h | 12
munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa
Persia. Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan
mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang
mampu mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka.
Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah rajaraja
baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayahwilayah
masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if
inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq.
Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga
berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di wilayah
teluk dari sungai Eufrat .
Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada era Ardasyir,
pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa
Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya.
Dan ini merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya
penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.
Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh
penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan
Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan
mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah
seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya
dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa
meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti.
Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab
juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara
Bangsa Arab Syam dan Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan
Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang
membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.
Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi
penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti
Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus
berlanjut atas kedua wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra
Persia pada tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang
mempromosikan gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan
kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-
Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih faham ini dan
menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak ajakan itu dengan
penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits
S i r a h N a b a w i y a h | 13
bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.
Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat membenci
faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para
pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara
itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke
pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana.
Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga
naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang
bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya
mengirim utusan kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyisembunyi,
an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya
menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung
menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra
mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan
utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang
ada padanya namun Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia
memaklumatkan perang melawan raja. Tak berapa lama tibalah para komandan batalyon
berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas
tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang
amat dahsyat di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut
akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara
hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini
merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang
mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah
atas Hirah.
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang
bernama Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun
632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya
adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya
tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin
dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.
Raja-raja di Syam
Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka suku-suku
Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari
Bani Salih bin Halwan yang diantara anak keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih
S i r a h N a b a w i y a h | 14
dan lebih dikenal kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh
Bangsa Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab
daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak
diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung selama bertahuntahun.
Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal adalah Ziyad bin al-Habulah.
Periode kekuasaan mereka diperkirakan berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga
berakhirnya yaitu setelah kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat
mengalahkan adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan
suku Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas
Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam hal ini,
kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus berlangsung hingga
pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka
Jabalah bin al-Ayham telah memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin,
Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu.
Emirat di Hijaz
Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Ka'bah sepanjang
hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra beliau
yaitu; Nabit kemudian Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang
mengatakan bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal
keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin 'Amru al-
Jurhumi **.
** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu pernah disinggung dalam kisah Nabi
Isma'il 'alaihissalam.
Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan suku Jurhum dan terus berlanjut
dalam waktu yang lama. Kedua putra Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat
di hati mereka lantaran jasa ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal
mereka tidak memiliki fungsi apapun dalam pemerintahan.
Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup
tak tersentuh hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang
munculnya Bukhtunshar. Dipihak lain, peran politik suku 'Adnan mulai bersinar di
Mekkah pada masa itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai
pemimpin Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di
Zat 'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam peristiwa
tersebut.
Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya serangan kedua oleh Bukhtunshar
S i r a h N a b a w i y a h | 15
pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil
mengajak Ma'ad untuk pergi menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah
tekanan Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya
disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam bin Jalhamah,
lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama
Nizar.
Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk setelah itu, dan mereka mengalami
kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan mereka menganiaya para pendatang dan
menghalalkan harta yang dimiliki oleh administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan
kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan sehingga membuat mereka mempertimbangkan
kembali sikap terhadap mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-
Zhahran dan melihat keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku
Jurhum, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan Bani
'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas memerangi
orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari Mekkah. Dengan begitu, dia berhasil
mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II M.
Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar Mekkah, mereka menyumbat sumur
Zamzam dan menghilangkan letaknya serta mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu
Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa
pintalan Ka'bah dan Hajar Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian
dia dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun
betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan kota Mekkah
dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk mengenang hal itu, 'Amru
merangkai sebuah sya'ir :
Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan
Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung sekitar dua puluh abad sebelum
Masehi. Dengan demikian masa keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh
satu abad sedangkan masa kekuasaan mereka adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah
menangani sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr,
kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga spesifikasi :
Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari 'Arafah ke Muzdalifah, dan
membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari Nafar (kepulangan dari melakukan
haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas
bin Mudhar. Mereka ini dijuluki dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan
S i r a h N a b a w i y a h | 16
tersebut adalah : bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari
Nafar hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu,
kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi ritual tersebut dan mereka ingin
melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua
sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu, tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah
mereka, kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala
kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani
Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.
Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan
qurban) menuju Mina ; urusan ini diserahkan kepada Bani 'Udwan.
Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena larangan berperang didalamnya-penj);
urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan Bani Kinanah.
Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum
'Adnan menyebar di kawasan Najd, pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan
Quraisy ; mereka hidup sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang
turun gunung guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota
Mekkah dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka,
Bani Kinanah. Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam
pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab.
Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa bapaknya meninggal dunia saat dia masih
dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari
Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah bin Haram, lalu ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran
Kota Syam. Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu
diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri Hulail,
Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika Hulail
meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang berakhir dengan
kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota Mekkah dan Ka'bah.
Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut :
Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta melimpah, pangkatnya semakin tinggi
dan bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling
berhak atas urusan Ka'bah dan kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab
suku Quraisy adalah pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia
membicarakan hal ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya
mengusir Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh
mereka.
S i r a h N a b a w i y a h | 17
Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah, berwasiat kepada Qushai agar
mengurusi Ka'bah dan Mekkah.
Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada putrinya, Hubba dan mengangkat Abu
Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah
tersebut mewakili Hubba. Tatkala Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan
membeli kewenangannya atas Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta
yang berkisar antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan
transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas penguasaannya
terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai mengumpulkan sejumlah
orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan mengusir mereka dari kota Mekkah,
maka mereka menyambut hal itu.
Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal dunia dan kaum Shûfah menjalani aktivitas
mereka tersebut, maka Qushai tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat
'Aqabah sembari berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ". Karena pelecehan ini,
mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan mereka dan merampas
semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr mengambil sikap tidak menyerang
setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang malah lebih dahulu mengambil inisiatif
penyerangan dan sepakat untuk memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan
tersebut dan terjadilah peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut
justru menjadi mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya
untuk berdamai dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr.
Ya'mur memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah
daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan oleh
Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa yang
melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr harus dibayar dengan tebusan, serta
(diputuskan juga) bahwa Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah.
Maka dari sejak itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah).
Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan
abad V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku
Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual
keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari seluruh
Jazirah.
Di antara langkah yang diambil oleh Qushai adalah memindahkan kaumnya dari rumahrumah
mereka ke Mekkah dan memberikan mereka lahan yang dibagi menjadi empat
bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi
mereka serta menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya
yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat sudah
S i r a h N a b a w i y a h | 18
selayaknya dia tidak merubahnya.
Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya adalah
didirikannya Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan
menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat
berkumpulnya orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis
bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat tersendiri dihati mereka karena
dapat mencetak kata sepakat diantara mereka dan menyelesaikan sengketa secara baik.
Diantara wewenang Qushai dalam mengelola pemerintahannya adalah sebagai
berikut :
Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini mereka berembuk tentang
masalah-masalah yang sangat strategis disamping sebagai tempat mengawinkan anak-anak
perempuan mereka.
Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa dipegang oleh orang lain selainnya
termasuk anak-anaknya dan harus berada di Darun Nadwah.
Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan) ; Kafilah dagang atau lainnya tidak akan
bisa keluar dari Mekkah kecuali dengan seizinnya atau anak-anaknya.
Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya
begitu juga dalam seluruh hal yang terkait dengan pelayanannya.
Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi jemaah haji) ; mereka mengisi penuh
galon-galon air yang disisipkan didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering).
Dengan bagitu jemaah haji yang datang ke Mekkah bisa meminumnya.
Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka menyediakan makanan khusus buat
tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada
kaum Quraisy yang dikeluarkan pada setiap musim haji dan hal tersebut kemudian
dipergunakan untuk membeli persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi
mereka yang tidak memiliki bekal yang cukup.
Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf
juga otomatis telah memiliki kharisma dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu
diikuti juga oleh adiknya 'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan
menghadapkanmu dengan kaum kita meskipun sebenarnya mereka telah
menghormatimu". Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan
wewenangnya dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya
S i r a h N a b a w i y a h | 19
wewenang atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk
orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah terlanjur
diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa hidup dan setelah
matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya. Tatkala Qushai meninggal
dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan wasiatnya dan tidak tampak perseteruan
diantara mereka, akan tetapi ketika 'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing
keras dengan anak-anak paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka)
dalam memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi dua
kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka, untunglah hal itu
mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas siqayah dan rifadah
diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji dan hijabah
diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian memilih
jalan undian untuk menentukan siapa diantara mereka yang memiliki kewenangan atas
siqayah dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf
sehingga dialah yang berhak atas pengelolaan keduanya selama hidupnya. Dan ketika dia
meninggal dunia, wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu
Manaf yang diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf,
kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus dilanjutkan oleh
keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu kewenangannya berada ditangan
al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai
sendirilah yang membagi-bagikan wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anakanaknya
untuk kemudian setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.
Selain itu suku Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi
diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila
boleh diungkapkan dengan ungkapan yang pas saat ini adalah semacam semi negara
demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya
hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang yaitu sistim parlemen dan
majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :
Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah ketika terjadi sumpah, dan urusan ini
diserahkan kepada suku Jumah.
Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu diperuntukkan dalam tata cara penyerahan
qurban/sesajian dan nazar-nazar kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam
memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani
Sahm.
Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.
Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus diyat (denda bagi tindak kriminal) dan
S i r a h N a b a w i y a h | 20
gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.
Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.
Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini diserahkan kepada
Bani Makhzum.
As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.
*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran", II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur adalah bahwa
yang membawa panji adalah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan
Bani Umayyah.
Kekuasaan di seluruh negeri Arab
Di bagian muka telah kami singgung tentang kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan
'Adnan, begitu juga dengan kondisi negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara
mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab
di Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya
saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di lapangan.
Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab
mendapatkan kebebasan mutlak.
Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut memiliki para pemuka yang mereka angkat
sebagai pemimpin kabilah, begitu juga kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan
berpijaknya adalah kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam
menjaga secara bersama tanah air dan membendung serangan lawan.
Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya seperti posisi para
raja. Jadi, setiap kabilah selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi
damai ataupun perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam
memimpin dan memberikan pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada
sebagian yang marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan ketika itu
tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya, karena persaingan dalam
memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama keturunan satu paman sendiri
kadang membuat mereka sedikit bermuka dua alias over acting dihadapan orang banyak.
Hal itu tampak dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang,
berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka
lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair
yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu. Disamping itu, mereka lakukan
juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.
S i r a h N a b a w i y a h | 21
Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak istimewa sehingga mereka bisa
mengambil bagian dari harta rampasan tersebut ; baik mendapat bagian mirba', shaffi,
nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :
Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami
Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat harta rampasan. Ash-Shaffi adalah
bagian yang diambil untuk dirinya sendiri. An-Nasyithah adalah sesuatu yang didapat oleh
pasukan di jalan sebelum sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari
harta rampasan yang tidak dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti
keledai, kuda dan lain-lain.
Kondisi Politik
Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di negeri Arab, maka akan kami jelaskan
sedikit gambaran tentang kondisi politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya
berdampingan dengan negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah
positif. Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para
penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, memiliki seluruh
kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti.
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang
selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada pemerintah yang
memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu,
keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri
tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka,
tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak
bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala itu
benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilahkabilah
yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh
hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai
penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilahkabilah
dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masingmasing
lebih memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari
mereka berdesah :
Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku
Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan mereka,
S i r a h N a b a w i y a h | 22
atau seorang penengah tempat dimana mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa
kesusahan.
Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh orang-orang Arab tertuju
kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari mereka. Mereka
menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang
pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan,
pemerintahan dalam arti yang sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika
mengadili persengketaan yang terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut
bertindak mewakili kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid
Haram dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang
mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga
ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami
singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai
sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak mampu memikul
tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang orang-orang Habasyah

FIRMAN GUNS. Diberdayakan oleh Blogger.