Minggu, 02 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 02 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB



Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum
Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan),
agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk
memahami kondisi yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.
Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua
kelompok:
Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki
independensi dan berdiri sendiri
Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak
istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki independensi.
Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang
raja yang mengenakan mahkota.
Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Syam,
Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki
mahkota.
Raja-raja di Yaman
Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah kaum Saba'. Mereka bisa diketahui
lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak
peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada tahun sebelas SM.
Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat diperkirakan sebagai berikut :
Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan
dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan
ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar jarak 50 km
ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang
dikenal dengan sebutan Kharibah.
S i r a h N a b a w i y a h | 10
Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama
bendungan Ma'rib, yang memiliki peran tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang
mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam
dan luar negeri Arab.
Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan
dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan
raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah.
Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.
Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan
dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba',
dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan
dikenal kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di
sebuah bukit yang memutar dekat Yarim.
Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami kerugian besar dalam
perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ;
pertama, dikuasainya kawasan utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai
jalur perdagangan laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di
Mesir, Syria dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar masingmasing
kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar
suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.
Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini dinasti mereka
dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang mereka alami penuh dengan
kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya
perang keluarga yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu
mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah renggut.
Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta atas
bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri
Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi
antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun
378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian
bendungan Ma'rib jebol hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh
Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa besar
yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa
mereka.
Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang
orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka
meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia membuat parit-parit
S i r a h N a b a w i y a h | 11
besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut
hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian
ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk
memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando
imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya
telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka sehingga bergabunglah
sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. Mereka untuk kedua kalinya berhasil
menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi
penguasa di sana atas penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh
Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan
selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah.
Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam
sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil).
Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang
kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter dan sadis dari orangtuanya.
Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orangorang
Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil
sehingga mereka akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman.
Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang
bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat
menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah
orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya.
Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu hari mereka berhasil
membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi
Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan
menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal
itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang
memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhirlah kekuasaan
kekisraan Persia atas negeri Yaman *.
* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161,
dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini; "Tarikhul 'Arab
Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi
perbedaaan yang amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian
penulis mengomentari tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah :
"AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".
Raja-raja di Hirah
Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga
S i r a h N a b a w i y a h | 12
munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa
Persia. Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan
mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang
mampu mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka.
Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah rajaraja
baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayahwilayah
masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if
inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq.
Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga
berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di wilayah
teluk dari sungai Eufrat .
Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada era Ardasyir,
pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa
Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya.
Dan ini merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya
penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.
Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh
penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan
Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan
mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah
seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya
dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa
meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti.
Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab
juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara
Bangsa Arab Syam dan Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan
Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang
membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.
Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi
penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti
Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus
berlanjut atas kedua wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra
Persia pada tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang
mempromosikan gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan
kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-
Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih faham ini dan
menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak ajakan itu dengan
penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits
S i r a h N a b a w i y a h | 13
bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.
Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat membenci
faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para
pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara
itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke
pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana.
Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga
naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang
bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya
mengirim utusan kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyisembunyi,
an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya
menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung
menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra
mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan
utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang
ada padanya namun Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia
memaklumatkan perang melawan raja. Tak berapa lama tibalah para komandan batalyon
berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas
tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang
amat dahsyat di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut
akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara
hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini
merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang
mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah
atas Hirah.
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang
bernama Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun
632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya
adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya
tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin
dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.
Raja-raja di Syam
Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka suku-suku
Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari
Bani Salih bin Halwan yang diantara anak keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih
S i r a h N a b a w i y a h | 14
dan lebih dikenal kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh
Bangsa Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab
daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak
diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung selama bertahuntahun.
Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal adalah Ziyad bin al-Habulah.
Periode kekuasaan mereka diperkirakan berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga
berakhirnya yaitu setelah kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat
mengalahkan adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan
suku Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas
Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam hal ini,
kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus berlangsung hingga
pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka
Jabalah bin al-Ayham telah memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin,
Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu.
Emirat di Hijaz
Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Ka'bah sepanjang
hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra beliau
yaitu; Nabit kemudian Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang
mengatakan bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal
keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin 'Amru al-
Jurhumi **.
** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu pernah disinggung dalam kisah Nabi
Isma'il 'alaihissalam.
Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan suku Jurhum dan terus berlanjut
dalam waktu yang lama. Kedua putra Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat
di hati mereka lantaran jasa ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal
mereka tidak memiliki fungsi apapun dalam pemerintahan.
Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup
tak tersentuh hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang
munculnya Bukhtunshar. Dipihak lain, peran politik suku 'Adnan mulai bersinar di
Mekkah pada masa itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai
pemimpin Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di
Zat 'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam peristiwa
tersebut.
Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya serangan kedua oleh Bukhtunshar
S i r a h N a b a w i y a h | 15
pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil
mengajak Ma'ad untuk pergi menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah
tekanan Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya
disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam bin Jalhamah,
lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama
Nizar.
Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk setelah itu, dan mereka mengalami
kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan mereka menganiaya para pendatang dan
menghalalkan harta yang dimiliki oleh administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan
kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan sehingga membuat mereka mempertimbangkan
kembali sikap terhadap mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-
Zhahran dan melihat keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku
Jurhum, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan Bani
'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas memerangi
orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari Mekkah. Dengan begitu, dia berhasil
mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II M.
Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar Mekkah, mereka menyumbat sumur
Zamzam dan menghilangkan letaknya serta mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu
Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa
pintalan Ka'bah dan Hajar Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian
dia dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun
betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan kota Mekkah
dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk mengenang hal itu, 'Amru
merangkai sebuah sya'ir :
Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan
Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung sekitar dua puluh abad sebelum
Masehi. Dengan demikian masa keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh
satu abad sedangkan masa kekuasaan mereka adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah
menangani sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr,
kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga spesifikasi :
Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari 'Arafah ke Muzdalifah, dan
membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari Nafar (kepulangan dari melakukan
haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas
bin Mudhar. Mereka ini dijuluki dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan
S i r a h N a b a w i y a h | 16
tersebut adalah : bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari
Nafar hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu,
kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi ritual tersebut dan mereka ingin
melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua
sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu, tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah
mereka, kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala
kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani
Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.
Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan
qurban) menuju Mina ; urusan ini diserahkan kepada Bani 'Udwan.
Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena larangan berperang didalamnya-penj);
urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan Bani Kinanah.
Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum
'Adnan menyebar di kawasan Najd, pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan
Quraisy ; mereka hidup sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang
turun gunung guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota
Mekkah dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka,
Bani Kinanah. Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam
pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab.
Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa bapaknya meninggal dunia saat dia masih
dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari
Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah bin Haram, lalu ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran
Kota Syam. Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu
diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri Hulail,
Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika Hulail
meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang berakhir dengan
kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota Mekkah dan Ka'bah.
Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut :
Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta melimpah, pangkatnya semakin tinggi
dan bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling
berhak atas urusan Ka'bah dan kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab
suku Quraisy adalah pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia
membicarakan hal ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya
mengusir Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh
mereka.
S i r a h N a b a w i y a h | 17
Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah, berwasiat kepada Qushai agar
mengurusi Ka'bah dan Mekkah.
Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada putrinya, Hubba dan mengangkat Abu
Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah
tersebut mewakili Hubba. Tatkala Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan
membeli kewenangannya atas Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta
yang berkisar antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan
transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas penguasaannya
terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai mengumpulkan sejumlah
orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan mengusir mereka dari kota Mekkah,
maka mereka menyambut hal itu.
Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal dunia dan kaum Shûfah menjalani aktivitas
mereka tersebut, maka Qushai tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat
'Aqabah sembari berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ". Karena pelecehan ini,
mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan mereka dan merampas
semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr mengambil sikap tidak menyerang
setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang malah lebih dahulu mengambil inisiatif
penyerangan dan sepakat untuk memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan
tersebut dan terjadilah peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut
justru menjadi mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya
untuk berdamai dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr.
Ya'mur memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah
daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan oleh
Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa yang
melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr harus dibayar dengan tebusan, serta
(diputuskan juga) bahwa Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah.
Maka dari sejak itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah).
Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan
abad V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku
Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual
keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari seluruh
Jazirah.
Di antara langkah yang diambil oleh Qushai adalah memindahkan kaumnya dari rumahrumah
mereka ke Mekkah dan memberikan mereka lahan yang dibagi menjadi empat
bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi
mereka serta menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya
yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat sudah
S i r a h N a b a w i y a h | 18
selayaknya dia tidak merubahnya.
Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya adalah
didirikannya Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan
menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat
berkumpulnya orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis
bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat tersendiri dihati mereka karena
dapat mencetak kata sepakat diantara mereka dan menyelesaikan sengketa secara baik.
Diantara wewenang Qushai dalam mengelola pemerintahannya adalah sebagai
berikut :
Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini mereka berembuk tentang
masalah-masalah yang sangat strategis disamping sebagai tempat mengawinkan anak-anak
perempuan mereka.
Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa dipegang oleh orang lain selainnya
termasuk anak-anaknya dan harus berada di Darun Nadwah.
Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan) ; Kafilah dagang atau lainnya tidak akan
bisa keluar dari Mekkah kecuali dengan seizinnya atau anak-anaknya.
Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya
begitu juga dalam seluruh hal yang terkait dengan pelayanannya.
Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi jemaah haji) ; mereka mengisi penuh
galon-galon air yang disisipkan didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering).
Dengan bagitu jemaah haji yang datang ke Mekkah bisa meminumnya.
Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka menyediakan makanan khusus buat
tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada
kaum Quraisy yang dikeluarkan pada setiap musim haji dan hal tersebut kemudian
dipergunakan untuk membeli persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi
mereka yang tidak memiliki bekal yang cukup.
Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf
juga otomatis telah memiliki kharisma dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu
diikuti juga oleh adiknya 'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan
menghadapkanmu dengan kaum kita meskipun sebenarnya mereka telah
menghormatimu". Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan
wewenangnya dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya
S i r a h N a b a w i y a h | 19
wewenang atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk
orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah terlanjur
diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa hidup dan setelah
matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya. Tatkala Qushai meninggal
dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan wasiatnya dan tidak tampak perseteruan
diantara mereka, akan tetapi ketika 'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing
keras dengan anak-anak paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka)
dalam memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi dua
kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka, untunglah hal itu
mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas siqayah dan rifadah
diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji dan hijabah
diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian memilih
jalan undian untuk menentukan siapa diantara mereka yang memiliki kewenangan atas
siqayah dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf
sehingga dialah yang berhak atas pengelolaan keduanya selama hidupnya. Dan ketika dia
meninggal dunia, wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu
Manaf yang diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf,
kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus dilanjutkan oleh
keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu kewenangannya berada ditangan
al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai
sendirilah yang membagi-bagikan wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anakanaknya
untuk kemudian setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.
Selain itu suku Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi
diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila
boleh diungkapkan dengan ungkapan yang pas saat ini adalah semacam semi negara
demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya
hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang yaitu sistim parlemen dan
majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :
Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah ketika terjadi sumpah, dan urusan ini
diserahkan kepada suku Jumah.
Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu diperuntukkan dalam tata cara penyerahan
qurban/sesajian dan nazar-nazar kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam
memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani
Sahm.
Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.
Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus diyat (denda bagi tindak kriminal) dan
S i r a h N a b a w i y a h | 20
gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.
Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.
Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini diserahkan kepada
Bani Makhzum.
As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.
*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran", II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur adalah bahwa
yang membawa panji adalah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan
Bani Umayyah.
Kekuasaan di seluruh negeri Arab
Di bagian muka telah kami singgung tentang kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan
'Adnan, begitu juga dengan kondisi negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara
mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab
di Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya
saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di lapangan.
Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab
mendapatkan kebebasan mutlak.
Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut memiliki para pemuka yang mereka angkat
sebagai pemimpin kabilah, begitu juga kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan
berpijaknya adalah kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam
menjaga secara bersama tanah air dan membendung serangan lawan.
Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya seperti posisi para
raja. Jadi, setiap kabilah selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi
damai ataupun perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam
memimpin dan memberikan pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada
sebagian yang marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan ketika itu
tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya, karena persaingan dalam
memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama keturunan satu paman sendiri
kadang membuat mereka sedikit bermuka dua alias over acting dihadapan orang banyak.
Hal itu tampak dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang,
berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka
lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair
yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu. Disamping itu, mereka lakukan
juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.
S i r a h N a b a w i y a h | 21
Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak istimewa sehingga mereka bisa
mengambil bagian dari harta rampasan tersebut ; baik mendapat bagian mirba', shaffi,
nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :
Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami
Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat harta rampasan. Ash-Shaffi adalah
bagian yang diambil untuk dirinya sendiri. An-Nasyithah adalah sesuatu yang didapat oleh
pasukan di jalan sebelum sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari
harta rampasan yang tidak dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti
keledai, kuda dan lain-lain.
Kondisi Politik
Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di negeri Arab, maka akan kami jelaskan
sedikit gambaran tentang kondisi politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya
berdampingan dengan negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah
positif. Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para
penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, memiliki seluruh
kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti.
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang
selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada pemerintah yang
memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu,
keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri
tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka,
tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak
bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala itu
benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilahkabilah
yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh
hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai
penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilahkabilah
dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masingmasing
lebih memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari
mereka berdesah :
Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku
Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan mereka,
S i r a h N a b a w i y a h | 22
atau seorang penengah tempat dimana mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa
kesusahan.
Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh orang-orang Arab tertuju
kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari mereka. Mereka
menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang
pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan,
pemerintahan dalam arti yang sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika
mengadili persengketaan yang terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut
bertindak mewakili kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid
Haram dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang
mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga
ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami
singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai
sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak mampu memikul
tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang orang-orang Habasyah

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

FIRMAN GUNS. Diberdayakan oleh Blogger.