Minggu, 23 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 05 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

NASAB DAN KELUARGA BESAR NABI


Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi ke dalam tiga klasifikasi: Pertama, yang
disepakati oleh ahlus Siyar wal Ansaab (Para Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan
nasab beliau hingga kepada Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan antara yang
mengambil sikap diam dan tidak berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu
tentangnya, yaitu urutan nasab beliau dari atas Adnan hingga Ibrahim 'alaihissalam.
Ketiga, yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak shahih,
yaitu urutan nasab beliau mulai dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam 'alaihissalam. Kami
sudah singgung sebagiannya, dan berikut ini penjelasan detail tentang ketiga klasifikasi
tersebut:
Klasifikasi Pertama: Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib (nama aslinya;
Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru) bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah)
bin Qushai (nama aslinya: Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin
Fihr (julukannya: Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin
an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya:
'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.
Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad
bin Humaisa' bin Salaaman bin 'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin
Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin
Maakhi b in 'Iidh bin 'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin
Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad
bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin 'Uudhah bin
'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.
Klasifikasi Ketiga: (dari urutan nasab kedua klasifikasi diatas hingga keatas Nabi Ibrahim)
yaitu, Ibrahim 'alaihissalam bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu' atau
Saaruugh bin Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin
Nuh 'alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang mengatakan
bahwa dia adalah Nabi Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin Qainaan bin
Aanuusyah bin Syits bin Adam 'alaihissalam.
S i r a h N a b a w i y a h | 40
Keluarga besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih dikenal
dengan sebutan al-Usrah al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin
'Abdu Manaf), oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung tentang kondisi Hasyim ini
dan orang-orang setelahnya dari keluarga besar beliau Shallallahu 'alaihi wasallam :
Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa Hasyim adalah orang yang bertindak
sebagai penanggung jawab atas penanganan air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan (ar-
Rifadah) terhadap Baitullah dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi perundingan
antara Banu 'Abdi Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam masalah pembagian kekuasaan
antar kedua belah fihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang
baik dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan makanan
berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada
jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama aslinya adalah 'Amru, adapun kenapa dia
dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang meremuk-remukan roti (sesuai
dengan arti kata Hasyim dalam Bahasa Arabnya-red). Dia juga lah orang pertama yang
mencanangkan program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus
Syitaa' ; bepergian di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di musim panas
(sebagaimana dalam surat Quraisy ayat 2 -red). Berkenaan dengan hal ini, seorang penyair
bersenandung:
'Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid kepada kaumnya
Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah musiman
Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim panas
Diantara kisah tentang dirinya; suatu hari dia pergi ke kota Syam untuk berdagang, namun
ketika sampai di Madinah dia menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, salah seorang
puteri 'Uday bin an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian
berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang
mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan 'Abdul Muththalib). Hasyim
akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di tanah Palestina. Isterinya, Salma
melahirkan puteranya, 'Abdul Muththalib pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya
dengan Syaibah karena tumbuhnya uban (yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah"-
red) di kepalanya. Dia mendidik anaknya di rumah ayahnya (Hasyim-red) di Yatsrib
sedangkan keluarganya yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu
tentang dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri. Keempat
puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan 'Abdul Muththalib. Sedangkan
kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah.
S i r a h N a b a w i y a h | 41
'Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah lalu kita telah mengetahui bahwa
tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah dan ar-Rifadah setelah Hasyim diserahkan
kepada saudaranya, al-Muththalib bin 'Abdu Manaf {Dia adalah orang yang ditokohkan,
disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya
dengan al-Fayyadh karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa
Arab adalah yang murah hati-red)}. Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja
sekitar usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar berita tentang
dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air
matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan dinaikkannya ke atas tunggangannya dan
memboncengnya namun cucunya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya.
Kakeknya, al- Muththalib kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya
membawa serta cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut. Al-
Muththalib lantas bertutur: "sesungguhnya dia (cucunya, 'Abdul Muththalib) akan ikut
bersamanya menuju kekuasaan yang diwarisi oleh ayahnya (Hasyim-red), menuju Tanah
Haram Allah". Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Abdul Muththalib
dibonceng oleh kakeknya, al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya. Orangorang
berteriak: "inilah 'Abdul Muththalib!". Kakeknya, al-Muththalib memotong teriakan
tersebut sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini adalah anak saudaraku (keponakanku),
Hasyim". 'Abdul Muththalib akhirnya tinggal bersamanya hingga tumbuh dan menginjak
dewasa. Al-Muthtthalib meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan kekuasaannya
kemudian digantikan oleh cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan
terhadap kaumnya persis seperti nenek-nenek moyang dulu akan tetapi dia berhasil
melampaui mereka; dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang
belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh mereka
sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin besar.
Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman 'Abdul Muththalib) menyerobot
kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini menimbulkan amarahnya yang serta
merta meminta pertolongan para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang
paman. Namun mereka menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri
urusanmu dengan pamanmu itu". Akhirnya dia menyurati paman-pamannya dari pihak
ibunya, Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan memohon
bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'd bin 'Uday bersama delapan puluh orang kemudian
berangkat menuju ke arahnya dengan menunggang kuda. Sesampai mereka di al-Abthah,
sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh 'Abdul Muththalib yang langsung bertutur
kepadanya: "silahkan mampir ke rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi
Allah, aku tidak akan ( mampir ke rumahmu-red) hingga bertemu dengan Naufal", lantas
dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di dekat al-Hijr
(Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd langsung mencabut pedangnya
seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)! Jika tidak engkau kembalikan
kekuasaan anak saudara perempuanku (keponakanku) maka aku akan memenggalmu
S i r a h N a b a w i y a h | 42
dengan pedang ini". Naufal berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapannya ini
disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah
'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama disana, dia melakukan
umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam-red) kemudian pulang ke
Madinah. Menyikapi kejadian yang dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu
dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim. Suku
Khuza'ah tergerak juga untuk menolong 'Abdul Muththalib setelah melihat pertolongan
yang diberikan oleh Bani an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada Bani an-
Najjar):"kami juga melahirkannya ('Abdul Muththalib juga merupakan anak/turunan
kami-red) seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal ini
lantaran ibu dari 'Abdi Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki Darun
Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi Syams dan
Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ada dua momentum besar yang terjadi atas Baitullah di masa 'Abdul Muththalib:
Pertama, Penggalian sumur Zam-zam. Kedua, datangnya pasukan gajah.
Ringkasan momentum pertama : 'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan
untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan kepadanya dimana letaknya, lantas dia
melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut-red) dan menemukan
didalamnya benda-benda terpendam yang dulu dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka
akan keluar meninggalkan Mekkah; yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi
(baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia
jadikan sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan sebagai
lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga menyediakan
tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi para jama'ah haji.
Ketika sumur Zam-zam berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya.
Mereka berkata kepadanya: "ikutsertakan kami!". Dia menjawab: "aku tidak akan
melakukannya sebab ini merupakan proyek yang sudah aku tangani secara khusus".
Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi menyeretnya ke pengadilan seorang dukun
wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam namun dalam perjalanan mereka, bekal air
pun habis lalu Allah turunkan hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun
tercurah ke atas mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan
kepada 'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka masing-masing. Saat itulah
'Abdul Muththalib bernazar bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka sudah
mencapai usia baligh, meskipun mereka mencegahnya guna mengurungkan niatnya untuk
menyembelih salah seorang dari mereka disisi Ka'bah maka dia tetap akan melakukannya.
Ringkasan momentum kedua: Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa bawahan anS
i r a h N a b a w i y a h | 43
Najasyi di negeri Yaman ketika melihat orang-orang Arab melakukan haji ke Ka'bah, dia
juga membangun gereja yang amat megah di kota Shan'a'. Tujuannya adalah agar orangorang
Arab mengalihkan haji mereka ke sana. Niat jelek ini didengar oleh seorang yang
berasal dari Bani Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam
memasuki gereja tersebut, lalu dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran. Tatkala
mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan
pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000 personil) ke Ka'bah untuk
meluluhlantakkannya. Dia juga memilih gajah paling besar sebagai tunggangannya. Dalam
pasukan tersebut terdapat sembilan ekor gajah atau tiga ekor. Dia meneruskan
perjalanannya hingga sampai di al-Maghmas dan disini dia memobilisasi pasukannya,
menyiagakan gajahnya dan bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi
baru saja mereka sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara
Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau lagi
berjalan menuju Ka'bah dan ogah dikendalikan oleh mereka baik ke arah selatan, utara
atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut, gajah berdiri dan berlari dan
bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut duduk. Manakala mereka mengalami
kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas mereka burung-burung yang
berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar. Lalu Dia Ta'ala menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Burung tersebut semisal besi yang berkeluk/pengait (khathaathiif) dan kacang adas
(balsan). Setiap burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di
kedua kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu tersebut mengenai seseorang
maka anggota-anggota badan orang tersebut akan menjadi berkeping-keping dan hancur.
Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut; ada yang dapat keluar melarikan diri
tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalanjalan
lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah
kirimkan kepadanya satu penyakit yang membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal dan
berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai Shan'a' maka dia tak ubahnya seperti
seekor anak burung yang dadanya terbelah dari hatinya, untuk kemudian dia roboh tak
bernyawa.
Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka berpencar-pencar ke lereng-lereng gunung
dan bertahan di bukit-bukitnya karena merasa ngeri dan takut kejadian tragis yang
menimpa pasukan Abrahah tersebut akan menimpa diri mereka juga. Manakala pasukan
tersebut telah mengalami kejadian tragis dan mematikan tersebut, mereka turun gunung
dan kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh hari atau lima puluh
lima hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam; yaitu bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan
Maret pada tahun 571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog yang disajikan oleh Allah untuk
S i r a h N a b a w i y a h | 44
NabiNya dan BaitNya. Sebab ketika kita memandang ke Baitul Maqdis, kita melihat
bahwa kiblat ini (dulu, sebelum Ka'bah-red) telah dikuasai oleh musuh-musuh Allah dari
kalangan kaum Musyrikin dimana ketika itu penduduknya beragama Islam, yakni
sebagaimana yang terjadi dengan tindakan Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587
SM dan oleh bangsa Romawi pada tahun 70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak pernah dikuasai
oleh orang-orang Nasrani (mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang
Islam/Muslimun) padahal penduduknya adalah kaum Musyrikin.
Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam kondisi yang dapat mengekspos beritanya ke
seluruh penjuru dunia yang ketika itu sudah maju; Diantaranya, Negeri Habasyah yang
ketika itu memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Romawi . Di sisi lain, orangorang
Farsi masih mengintai mereka dan menunggu apa yang akan terjadi terhadap orangorang
Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka, ketika mendengar peristiwa tragis tersebut,
orang-orang Farsi segera berangkat menuju Yaman. Kedua negeri inilah (Farsi dan
Romawi) yang saat itu merupakan negara maju dan berperadaban (superpower). Peristiwa
tersebut juga mengundang perhatian dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan
kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai tempat
suci. Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari tempat ini mengaku sebagai pengemban
risalah kenabian maka hal inilah sesungguhnya yang merupakan kata kunci dari terjadinya
peristiwa tersebut dan penjelasan atas hikmah terselubung di balik pertolongan Allah
terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin) melawan kaum Musyrikin; suatu cara yang
melebihi kejadian Alam yang bernuasa kausalitas ini.
'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu
Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar, al-'Abbas.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah
dengan seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang
menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari nama-nama yang
sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera lagi yang bernama 'Abdul
Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak
lain adalah al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla adalah al-Ghaidaaq dan tidak ada
diantara putera-puteranya tersebut yang bernama Qutsam. Adapun puteri-puterinya
berjumlah enam orang, yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah,
Arwa dan Umaimah.
'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah bernama
Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin 'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah.
'Abdullah ini adalah anak yang paling tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib,
yang paling bersih jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban
yang dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas. Ceritanya; ketika
'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera dan mengetahui
S i r a h N a b a w i y a h | 45
bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya, dia kemudian memberitahu
mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis nama-nama
mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada
patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama
'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan
mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy
mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari fihak ibu) dari Bani Makhzum dan
saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas,
apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia
menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian datang
kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini memerintahkannya
untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama 'Abdullah dan sepuluh
ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib) harus
menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha.
Dan jika yang keluar atas nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban.
'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian
(sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan
sepuluh ekor onta, lalu keluarlah yang nama 'Abdullah; bila yang terjadi seperti ini maka
dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi
maka yang keluar adalah nama 'Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh
ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut
jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan
meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia
maupun binatang buas. Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab
secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu maka
dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam. Diriwayatkan
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: "Aku lah anak (cucu)
kedua orang yang dipersembahkan sebagai sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il
'alaihissalam dan ayah beliau 'Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari;
II/240-243).
'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya, 'Abdullah seorang gadis bernama Aminah
binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk wanita
idola di kalangan orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayahnya
adalah pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah
dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama
kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika sampai disana
dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di
Daar an-Naabighah al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu dia baru berumur 25 tahun dan tahun
meninggalnya tersebut adalah sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
sebagaimana pendapat mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia
meninggal dua bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika
S i r a h N a b a w i y a h | 46
berita kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang isteri meratapi kepergian sang suami
dengan untaian ar-Ratsaa' (bait syair yang berisi ungkapan kepedihan hati atas kematian
seseorang dengan menyebut kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan
menyentuh:
Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di tanah lapang berkerikil
Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang jelas
Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya
Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal putera Hasyim
Di saat mereka tengah memikul keranda kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya
Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih
Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah adalah: lima ekor onta, sekumpulan
kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama Barakah dan Kun-yah (nama
panggilannya) adalah Ummu Aiman yang merupakan pengasuh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam.

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

FIRMAN GUNS. Diberdayakan oleh Blogger.